Pengertian :
a. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik,
yaitu : ilmu menuntun anak.
b. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare,
yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang
dibawa waktu dilahirkan di dunia.
c. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung
yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau
mengaktifkan kekuatan/potensi anak.
d. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah
(pengolahan - Red), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran,
kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
e. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik),
yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak
dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan,
cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya
untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan
alam dan masyarakatnya.
Dari etimologi dan analisis pengertian
pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan
pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan
rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendekatan holistik dalam proses pendidikan menuntut penyelenggara
pendidikan untuk tidak hanya mentransfer knowledge, skills, tetapi juga
attitude kepada peserta didiknya. Proses pendidikan ini mengawinkan hal-hal yang
bersifat obyek material dengan obyek formal (attitude), meliputi spiritualisme,
moral, etika, dan budaya. Konsep ini juga sejalan dengan konsep Lima Visi
Pendidikan dari Unesco: Learning how to think, how to do, how to be, how to
learn, how to live together.
Mendidik bukan menciptakan mesin-mesin manusia. Dalam istilah Jurgen
Habermas disebut sebagai hegemoni ratio
instrumentalis. Sistem pendidikan yang digelontorkan dengan sistem satu
sisi mata uang ini, menurut dia, akan menghasilkan output manusia-manusia
mekanis yang kering dari nuansa kebasahan ruang diri atau one dimensi man.
Mendidik adalah suatu proses memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia
membutuhkan nilai-nilai egaliter dan suasana demokratis.
Tujuan :
adalah memanusiakan manusia muda. Selain itu, pendidikan juga bertujuan mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar
diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan
lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar
tradisinya.
Proses :
Pendidikan merupakan proses yang terus
menerus, tidak berhenti.
Menghadapi abad ke-21, UNESCO melalui “The International Commission on Education for the Twenty first Century"
yang dipimpin oleh Jacques Delors merekomendasikan pendidikan yang
berkelanjutan (seumur hidup) yang dilaksanakan berdasarkan empat pilar proses
pembelajaran, yaitu:
1. Learning to know (Belajar untuk menguasai..pengetahuan)
1. Learning to know (Belajar untuk menguasai..pengetahuan)
Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha untuk
mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan.
Belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam prosesnya tidak sekedar
mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak
bermanfaat bagi kehidupan.
Guna merealisir learning to know, pendidik seyogyanya tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga fasilitator. Di samping itu pendidik dituntut dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan peserta didik dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu
2. Learning to do (Belajar untuk menguasai keterampilan )
Guna merealisir learning to know, pendidik seyogyanya tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga fasilitator. Di samping itu pendidik dituntut dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan peserta didik dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu
2. Learning to do (Belajar untuk menguasai keterampilan )
Pendidikan merupakan proses belajar untuk melakukan
sesuatu (learning to do). Proses belajar menghasilkan perubahan dalam ranah
kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan nilai.
Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh
untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu
yang bermakna bagi kehidupan.
Learning to do bisa berjalan jika lembaga pendidikan memfasilitasi peserta didik untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan, namun tumbuh berkembangnya tergantung pada lingkungannya. Dewasa ini keterampilan bisa digunakan menopang kehidupan seseorang, bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.
3. Learning to be (Belajar untuk mengembangkan diri)
Learning to do bisa berjalan jika lembaga pendidikan memfasilitasi peserta didik untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan, namun tumbuh berkembangnya tergantung pada lingkungannya. Dewasa ini keterampilan bisa digunakan menopang kehidupan seseorang, bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.
3. Learning to be (Belajar untuk mengembangkan diri)
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan
bagian dari proses belajar menjadi diri sendiri (learning to be). Menjadi diri
sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri.
Belajar berperilaku sesuai dengan norma & kaidah yang berlaku di
masyarakat, serta belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya adalah
proses pencapaian aktualisasi diri.
Pengembangan diri secara maksimal (learning to be) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak & kondisi lingkungan nya. Kemampuan diri yang terbentuk di sekolah secara maksimal memungkinkan anak untuk mengembangkan diri pada tingkat yang lebih tinggi.
4. Learning to live together (Belajar untuk hidup .bermasyarakat)
Pengembangan diri secara maksimal (learning to be) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak & kondisi lingkungan nya. Kemampuan diri yang terbentuk di sekolah secara maksimal memungkinkan anak untuk mengembangkan diri pada tingkat yang lebih tinggi.
4. Learning to live together (Belajar untuk hidup .bermasyarakat)
Dengan kemampuan yang dimiliki, sebagai hasil dari
proses pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam
lingkungan di mana individu tersebut berada, sekaligus mampu menempatkan diri
sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam
kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together).
Salah satu fungsi sekolah adalah tempat bersosialisasi, artinya mempersiapkan siswa untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan di lingkungan sekolah. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya "learning to live together".
Salah satu fungsi sekolah adalah tempat bersosialisasi, artinya mempersiapkan siswa untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan di lingkungan sekolah. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya "learning to live together".
Pada dasarnya proses pendidikan
adalah proses transformasi atau proses perubahan kualitas tingkah laku individu
(Edgar Faure,et.al,1981). Perubahan tingkah laku yang diharapkan bukanlah
sekedar perubahan dalam penambahan jenis tingkah laku, tetapi perubahan
struktural yang berkenaan dengan perubahan dalam pola tingkah laku atau pola
kepribadian yang makin sempurna. Transformasi pendidikan tidak hanya
dimaksudkan agar seseorang makin banyak mengerti tentang segala sesuatu, tetapi
terutama agar orang tersebut makin memiliki kemampuan untuk meningkatkan taraf
hidupnya lahir batin dalam peranannya sebagai pribadi, warga masyarakat, warga
negara dan makhluk Tuhan.
Atas pijakan yang demikian,
maka proses pendidikan dapat dipahami sebagai upaya manusia mentransformasikan
atau mengubah kemampuan potensial seseorang menjadi kemampuan nyata yang
diperlukan dalam meningkatkan taraf hidup lahir batin.
Sebagai proses, maka di dalam
pendidikan ada interaksi fungsional antarkomponen pendidikan yang juga
berinterdependen satu sama lainnya. Sesuai fungsinya menyongsong hari esok,
maka pendidikan selayaknya dilandaskan bukan saja pada apa yang diketahui oleh
pendidik/guru/dosen tentang hidup dan kehidupan, melainkan juga pada apa yang
dikehendaki dari hidup dan kehidupan itu (Rakajoni,1992).
Teori :
1.
Teori Henri J.M. Nouwen
menyebutkan proses pendidikan/pengajaran yang
muncul dalam masalah-masalah di seputar pendidikan sebagai akibat dari jalannya
pengajaran yang diwarnai kekerasan. Menurutnya ada tiga ciri dari
pengajaran sebagai proses yang diwarnai kekerasan, yaitu : persaingan, satu
arah dan mengasingkan. Proses pengajaran yang diwarnai kekerasan itu
menurut Nouwen dapat merusak hakikat pendidikan. Oleh karena itu Nouwen membuat
suatu model pendidikan/pengajaran yang disebutnya "Pengajaran sebagai
proses yang membebaskan". Model tersebut berpijak pada tiga hal, yaitu : evokatif,
dua arah dan mengaktualisasikan.
1. Evokatif
Persaingan sebagai salah satu ciri dari proses pengajaran yang diwarnai kekerasan, merupakam salah satu yang merusak sistem pendidikan yang ada. Persaingan menyebabkan cara pandang murid terhadap kawannya dan gurunya menjadi salah. Akibatnya, persaingan dapat menimbulkan perasaan takut yang dapat melumpuhkan pada diri seorang siswa karena hasil yang mereka capai. Ketakutan ini membuat banyak peserta didik terlalu peka dan cenderung curiga terhadap kawan atau guru mereka. Perasaan takut membuat mereka rendah diri, mempertahankan diri dalam hubungan dengan orang lain, was-was akan kemungkinan gagal serta ragu-ragu untuk mengambil resiko atau untuk mengerjakan hal-hal yang baru dan tidak terduga.
Karena perasaan takut, persaingan menjadi
hambatan besar dalam perkembangan kepribadian yang utuh. Namun di dalam
pendidikan yang membebaskan, hubungan guru-murid bersifat membebaskan yaitu
masing-masing pihak mencoba untuk membangkitkan kemampuan yang dimiliki oleh
pihak yang lain dan menjadikannya dapat tersedia satu bagi yang lain. Kalau
seorang murid menghendaki seorang guru maka dia harus memberikan kebebasan
kepada orang itu untuk menjadi gurunya dengan membagikan pengalamannya sebagai
sumber pemahaman dan pengertian. Di dalam diskusi kelas pun murid dapat
menawarkan pengalaman hidup mereka kepada guru dan kawan-kawan, sehingga dalam
hal ini persaingan tidak ada lagi, dan guru bukanlah hakim yang menakutkan akan
tetapi orang yang diberi kesempatan menjadi guru dan mendorong murid agar
semakin terbuka untuk belajar. Dalam pengertian ini, guru juga menjadi seorang
sahabat bagi murid.
2. Dua Arah
Kalau dalam pengajaran yang diwarnai proses
kekerasan sistemnya adalah satu arah, yaitu murid hanya menerima apa yang
dikatakan oleh guru, maka dalam proses yang membebaskan/pengajaran yang
membebaskan terjadi dalam dua arah. Guru belajar dari murid dan murid juga
belajar dari guru. Guru dan murid adalah teman seperjalanan mencari yang benar,
bernilai dan sahih (dapat dipertanggung jawabkan) dan yang saling memberikan
kesempatan untuk berperan satu terhadap yang lain. Guru tidak perlu takut kalau
murid lebih mengerti daripada dirinya dan tidak perlu merasa kehilangan
kehormatan, karena justru dengan demikian mereka telah membebaskan murid dari
perasaan takut dan memberikan kepada murid kebebasan untuk berkembang.
3. Mengaktualisasikan
Pengajaran bukannya untuk mengasingkan,
dengan mengarahkan kesadaran peserta didik keluar dari diri mereka sendiri dan
menjauh dari hubungannya yang langsung dengan kenyataan saat ini dalam dirinya
dan lingkungannya.
Akan tetapi pengajaran harus
mengaktualisasikan. Artinya, kalau belajar dalam pengertian tertentu merupakan
persiapan untuk hidup di masa depan, maka hanya dapat terjadi demikian kalau
masa depan itu menjadi nyata dalam hubungan pengajaran sekarang dan di sini.
Untuk membangun dunia yang lebih baik, awal dari dunia itu harus tampak dalam
hidup sehari-hari. Tidak ada alasan untuk mengharapkan akan terjadi banyak hal
di masa depan kalau tanda-tanda harapan itu tidak ditampakkan pada masa kini.
Kita tidak dapat berbicara mengenai cara-cara untuk membawa damai dan
pembebasan kalau kita tidak dapat menyimpulkannya dari pengalaman kita sendiri
mengenai damai dan kebebasan yang kita alami sekarang dan di sini, di dalam
dunia dan sistem pendidikan kita. Kita tidak dapat melibatkan diri pada
perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kasih dalam masyarakat yang akan
datang, kalau kita tidak dapat menemukan benih-benih keadilan dan kasih itu
dalam keterlibatan kita sekarang dan dalam pelaksanaan sistem pendidikan kita.
“Sekolah, sebagai bagian dari
sistem pendidikan, adalah tempat di mana persaudaraan dapat dialami, di mana
orang dapat hidup bersama tanpa merasa takut satu sama lain dan belajar
didasarkan pada pertukaran pengalaman dan gagasan yang kreatif. Oleh karena itu
bagi mereka yang selesai sekolah, akan mempunyai keinginan yang semakin besar
untuk membawa apa yang mereka alami selama bertahun-tahun di sekolah ke dunia
yang lebih luas. Sekolah bukanlah arena latihan untuk mempersiapkan orang masuk
ke dalam kekerasan masyarakat (yang keras), tetapi merupakan tempat di mana
masyarakat yang merdeka dapat dicoba dibangun dan ditawarkan kepada dunia
modern, sebagai gaya hidup yang lain.”
- Teori Paolo Freire
seorang pendidik praksis revolusioner berbasis paradigma liberasionisme (pembebasan). Gagasan Freire banyak dianggap sebagai gagasan pembebasan penuh pendidikan institusional dan mengacu pada pembebasan masyarakat dalam mengenyam pendidikan. Gagasan ini banyak disetarakan dengan teori anarkis mengenai praktik ajar-mengajar yang dinilai sudah cenderung menjadi komoditas kapitalistik yang tidak lepas dari usaha pemenuhan kebutuhan semu terhadap tuntutan masyarakat semu produk sistem kapitalis. Putar-ulang seluruh gagasan pendidikan sebagai kritik terhadap sistem dan metode pendidikan yang sudah baku adalah gagasan para anarkis—dari sini muncul
istilah 'deschooling society' yang menyatakan sikap para anarkis. Freire kemudian sangat dekat dengan para penggagas anarkis ini terutama karena rasa antipati terhadap sistem kapitalistik dan karena sifat praksis serta revolusioner Freire.
Tatanan nilai positif Freire dapat disejajarkan dengan tema pendidikan yang berkembang akhir-akhir ini: apakah institusi pendidikan berniat mencetak manusia mekanistis, atau berusaha untuk lebih menghasilkan manusia yang berbudaya? Manusia yang berbudaya di sini mungkin lebih diarahkan pada peraihan kebebasan dan humanisasi, sesuai dengan niat Freire.
Beberapa konsep Freire mengenai pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan dapat dilihat di bawah ini:
(1) Pendidikan ditujukan pada kaum tertindas dengan tidak berupaya menempatkan kaum tertindas dan penindas pada dua kutub berseberangan. Pendidikan bukan dilaksanakan atas kemurah-hatian palsu kaum penindas untuk mempertahankan status quo melalui
penciptaan dan legitimasi kesenjangan. Pendidikan kaum tertindas lebih diarahkan pada pembebasan perasaan/idealisme melalui persinggungannya dengan keadaan nyata dan praksis. Penyadaran atas kemanusiaan secara utuh bukan diperoleh dari kaum penindas,
melainkan dari diri sendiri. Dari sini sang subjek-didik membebaskan dirinya, bukan untuk kemudian menjelma sebagai kaum penindas baru, melainkan ikut membebaskan kaum penindas itu sendiri. Pendidikan ini bukan bertujuan untuk menjadikan kaum tertindas menjadi lebih terpelajar, tetapi untuk membebaskan dan mencapai kesejajaran
pembagian pengetahuan.
(2) Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan Freire adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus. Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua orang tanpa kecuali.
(3) Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan.
Ada tiga tipe
fokus yang dilakukan dalam pendidikan, yaitu; materi pengajaran, anak
didik/siswa atau mahasiswa dan yang terakhir model memfokuskan kepada mahasiswa
dan materi pelajaran sekaligus.
1. Mendidik dengan hanya mementingkan dimensi mata
pelajaran saja, tanpa memperdulikan aspek anak didik; seperti akhlak,
kehadiran, disiplin dan penampilan anak didik adalah model pendidikan yang
sifatnya untuk anak didik yang jumlah anak didik banyak, tidak terjangkau oleh
ruang dan waktu, sehingga standar kelulusan mahasiswa atau anak didik hanya
ditentukan oleh penguasaan materi yang telah ditentukan oleh pendidik, artinya
semakin tinggi penguasaan materi maka akan semakin tinggi kelas dan derajat
anak didik.
Pendidik maupun anak didik
tidak perlu menghiraukan kedisiplinan, kehadiran, khitmat kepada guru, apalagi
mengenal guru atau dosen pendidik mereka, tugas utama pendidik adalah mengarang
buku, minimal diktat. Sedangkan pihak universitas, memeriksakan kelayakan buku
pegangan tersebut yang diwakilkan kepada badan tertentu misalnya: Lembaga
Pengendalian Mutu, hai`atul tadris wa ta`lim. Setiap tahunnya badan ini
akan selalu mengadakan penyeleksian terhadap buku-buku pengangan yang dikarang
calon dosen, karena syarat utama menjadi pendidik atau dosen adalah menjadi
pemenang dalam penseleksian buku pegangan yang diseleksi lembaga universitas.
Standar buku pegangan berbeda
antara universitas dengan universitas lainnya, paling kurang mereka memakai
target memenuhi dua potensi dasar yang dikandung dalam buku pegangan tersebut,
pertama potensi hafalan dan kedua potensi nalar. Harapan universitas adalah
jika mahasiswa telah menguasai buku pengangan tersebut maka mahasiswa telah
dibekali semua kemampuan dasar tentang objek tertentu dari mata kuliah.
Biasanya model yang dilakukan
dalam pembuatan buku pegangan adalah; buku pegangan harus telah menjelaskan
tentang segala pengertian-pengertian, idrak al-tassawur (concepts),
tentang sesuatu berkenaan dengan ilmu yang dipelajarinya dan kata-kata kunci
dalam pelajaran tersebut. Untuk mendapatkan pengertian yang benar tentang suatu
kata maka harus dicari segala kata-kata lain yang memiliki makna yang sama atau
serupa. Setelah kata-kata yang serupa atau sama ditemukan maka dicari
perbedaan makna dari kata-kata tersebut dengan makna kata yang sedang dicari.
Untuk bisa menemukan kesamaan dan perbedaan antara kata tadi mesti menganalisa
dengan membagi-bagi setiap kata tersebut kepada lima kulliyat yang
digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri atau konsep dengan
mengunakan "kulliyat khamsah". Lima kulliyah itu
adalah: [1] Nau' (species), [2] jins (genus), [3] fashl
(differentia), [4] 'aradh 'aam (common accidence) dan [5] 'aradh
khas (proper accidence). Menganalisa seluruh hal yang mungkin
dikandung oleh makna kata disebut jami` dan membeda setiap hal dengan essence
maka tadi disebut mani`.
Disamping itu, buku itu harus
juga menjelaskan tentang tasdiq, idrak al-tasdiq (composition).
Maksudnya adalah setiap mahasiswa dipastikan setelah mempelajari buku pengangan
tersebut bisa membuat gabungan-gabungan kata berupa mengandung
kebenaran-kebenaran tertentu yang dikandungi ilmu tersebut, seperti: kalimat
badihi dan dharuri (A Priori, analytic, The necessary) dan harus
bisa menghasilkan juga thesis, anti thesis dari ilmu yang sama,
apakah thesis-thesis tersebut dihasilkan melalui logika, experimental
ataupun gabungan keduanya (reflektif). Target ini dianggap telah tercapai bila
mahasiswa dapat membuat kebenaran-kebenaran A posteriori, synthetic dan
contingent (kebenaran nadhari)[ii].
Model ini menuntut mahasiswa kemandirian yang luar biasa. Mahasiswa dipaksakan
menjadi dewasa, dia harus mawas, karena lulus atau tidak lulus dia hanya
ditentukan oleh dirinya sendiri. Mereka tidak diawasi sama sekali.
Bisa kita pastikan bahwa model ini juga tidak terjalin hubungan psikologis
antara pendidik dengan anak didik; kenal mengenal, pribadi, kasih-sayang dan
bela-membela. Konsekwansinya adalah sangat positif, pendidik tidak pernah dapat
dipengaruhi oleh mahasiswa/anak didik atau orang tua didik, dan dosen tidak
terpengaruh oleh subjek lain dalam memberi nilai kepada anak didiknya. Pada
dasarnya dosen tidak punya hak memberi nilai dan menentukan mahasiswa lulus
ataupun tidak lulus, hak dosen adalah mengajar, memastikan anak didik mampu
menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan dan menyetorkan soal-soal final ujian kepada haitul
tadrus wal ta`lim dalam lebih dari tiga lipat soal yang akan diujiankan,
sedangkan yang menentukan soal mana yang akan keluar dari sekian banyak soal
pilihan yang diberikan dosen, lulus tidak lulus mahasiswa adalah lembaga haitul
tadrus watt a`lim dan beberapa dosen structural yang terlibat
langsung dalam peningkatan mutu universitas.
Sistem belajar ini juga berbeda sekali dengan sistem dikenal dalam bentuk SKS,
mahasiswa bila berasil menyelesaikan semua mata kuliah atau minimal dua mata
kuliah dalam satu tahun maka ia akan naik kelas, tetapi bila tidak lulus tiga
atau lebih dari mata kuliah dalam satu tahun maka ia harus mengulang lagi ke
tahun depan untuk menyelesaikan mata kuliah yang tertinggal (sistem
al-Azhar),sedangkan di lain tempat (di Universitas Qurawiyien, Maroko) harus
mengulangi semua mata kuliah, meski yang tinggal hanya tiga mata kuliah. Sistem
ini juga tidak menyeleksi mahasiwa baru yang mendaftar ke universitas, jumlah
mahasiswa untuk setiap lokal tidak dibatasi dengan ketat, tidak ada peraturan
mesti bertatap muka dengan dosen dan lain-lain.
Model diatas adalah model yang khususnya
dipakai untuk pendidikan tingkat strata satu keatas dan sering diterapkan di
universitas-unversitas terkemuka dan terpopular, seperti al-Azhar di Mesir,
Universitas Qurawiyien di Maroko[iii], Universitas
Zaitunah di Tunisia dan beberapa universitas lainnya di Jerman.
2. Model kedua adalah kebalikan model diatas yang
menfokuskan kepada anak didik. Keberhasilan dan kegagalan pendidikan selalu
ditentukan oleh kualitas subjektif anak didik, pendidikan ini sangat
mengutamakan sikap, tingkah-laku, hubungan psychologis dan fisik antara
anak didik dengan pendidik, kualitas penguasaan materi tidak begitu menentukan
terhadap sukses dan tidak suksesnya anak didik. Dari naturenya
pendidikan ini sangat cocok untuk pendidikan tingkat kanak-kanak hingga Sekolah
Menenggah Pertama (SMP), sedangkan menengah keatas sudah perlu dimodifikasikan
dengan penambahan aspek kognitif.
Pada dasarnya, pendidikan pola kedua ini adalah pendidikan yang membina
kecerdasan emosional atau disebut juga dengan pendidikan karakter, namun pola
pertama diatas adalah pendidikan kecerdasan intelektual. Pola kedua ini sangat
berguna untuk anak didik permulaan (dari Tingkat Kanak-kanak/TK hingga Sekolah
Tingkat Pertama), karena sesungguhnya nabi sendiri pada dasarnya mementingkan
sekali pendidikan emosional sejak dini (dalam kandungan), sehingga wajar saja
nabi bersabda: "sesungguhnya tidaklah saya diutuskan kecuali untuk
memperbaiki akhlak". Dalam hadist lain: "Dalam tubuh terdapat
sepotong daging (hati), apabila ia baik maka baiklah badan itu seluruhnya dan
apabila ia rusak maka rusaklah badan itu seluruhnya. Sepotong daging itu adalah
hati". (HR. Bukhari dan Muslim[iv]).
Inti pendidikan karakter
adalah; suatu masyarakat akan sukses mengapai kemajuannya jika mayoritas
masyarakatnya berkharater positif, sebaliknya jika mayoritas masyarakat
berkarakter negatif, maka dapat dipastikan masyarakat itu tidak bisa maju. Hal
ini dikarenakan suatu masyarakat yang berkarakter positif, mereka sudah
memiliki modal dasar untuk mengapai kemajuan, seperti sifat jujur, mandiri,
bekerja-sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya dan lain-lain. Sifat-sifat
positif diatas memastikan suatu masyarakat bisa bekerja sama, dipercaya,
mementingkan kepada orang lain, bisa diatur, bila hal tadi memungkinkan
dilakukan dalam masyarakat maka secara pasti sebuah peradaban dapat dibangun.
Sebaliknya,s masyarakat yang
mayoritas berkarakter negatif maka masyarakat ini tidak dapat dibangun, apalagi
menjadi masyarakat yang berperadaban tinggi. Karena karakter negatif yang
mereka lakukan dapat menghambat kerjasama antara intern dan extern, tidak dapat
dipercaya, begitu juga tidak rajin, tidak punya etos kerja dan lain-lain yang
akan menghambat masyarakat ini untuk maju. Maka pendidikan karakter dalam
rangka mencapai tujuan tersebut, yaitu; bagaimana menciptakan mayoritas
masyarakat berkarakter positif.
3. Model
ketiga yaitu; menerapkan sistem SKS (Sistem Kredit Semester), yang menilai segi
subjektif dan objektif sistem belajar mengajar atau pemfokusan terhadap anak
didik dan materi kuliah sekaligus adalah pendidikan yang umumnya ditetapkan di
dunia sekarang. Dari sejak adanya hingga sekarang, sistem SKS ini telah terjadi
modifikasi-modifikasi untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dimiliki
sebelumnya.
Paling tidak pendidikan ini
membangun paradigma pendidikan baru, menjadikan anak didik anak yang
berpengetahuan (learning to know), membuat anak didik menjadi manusia (learning
to be), membentuk kepedulian untuk berbuat (learning to do), dan
mengajak mereka untuk dapat hidup bersama di tengah masyarakat (learning to
live together).
Teori
pendidikan mengenal tiga ranah tujuan pendidikan: kognisi, afeksi, dan konasi.
1.
Ranah kognisi menekankan aspek penerimaan informasi.
Kemudian, peserta didik mampu menjelaskan kembali informasi yang telah diserap.
Kemampuan kognisi berguna mengombinasikan cara-cara baru dan mensintesiskan
ide-ide baru. Mengetahui, mengingat, memahami, menganalisis, dan mengevaluasi
merupakan tujuan di domain kognisi.
2.
Ranah afeksi menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi,
nilai, dan tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu.
3.
Ranah konasi (psikomotorik) menitikberatkan pada tujuan
melatih keterampilan teknis, memanipulasi gerak, merangkai berbagai gerak, dan
meniru gerak. Ketiga domain itu idealnya seimbang. Adanya keselarasan sisi
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Faktor – Faktor yg
Mempengaruhi :
Sutari Imam Barnadib (1995:35) menyatakan bahwa ada lima faktor
pendidikan yang saling mempengaruhi dan saling berhubungan satu sama lain.
Kelima faktor tersebut yaitu: faktor tujuan, faktor pendidik, faktor anak
didik, faktor alat-alat, dan faktor alam sekitar (milieu).
1. Faktor tujuan
mengisyaratkan bahwa perbuatan mendidik tidak boleh diadakan tanpa ada
kesanggupan dan tanpa disadari.
2. Tiap orang
yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan
lebih tinggi biasa disebut pendidik.
3. Anak didik
diartikan sebagai tiap orang atau sekelompok orang yang menerima pengaruh dan
seorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.
4. Alat
pendidikan sendiri yaitu perbuatan atau situasi yang diadakan dengan sengaja
untuk mencapai tujuan pendidikan.
5. Faktor alam
sekitar adalah segala sesuatu yang ada di sekeliling alat.
Secara
sederhana ada dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan,
yaitu faktor yang berasal dalam diri individu yang sedang belajar, dan faktor
yang berasal dan luar diri individu.
1. Faktor yang terdapat di dalam
individu dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor psikis dan faktor
fisik. Kedua faktor tersebut keberadaannya ada yang ditentukan oleh faktor
keturunan, ada juga yang oleh faktor lingkungan, dan ada pula yang ditentukan
oleh keturunan dan lingkungan.
2. Sedangkan faktor berasal dan
luar individu dikelompokkan menjadi faktor lingkungan alam, sosial-ekonomi,
pendidik, metode mengajar, kurikulum, program, matode pelajaran, dan sarana dan
prasarana.
Jenis2 :
- Pendidikan Formal
- Pendidikan Non formal
Ki Hajar Dewantara :
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada
sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu
cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan
semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu
daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya
akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan
sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan
menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara
fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh
tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti
keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi,
tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah
membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa
merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada
aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan
universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual.
Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak
Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta,
kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana
yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada
kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap
masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati;
pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya
mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan;
pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara
masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya
memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup
sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan
pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang
dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat
mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab
atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai
dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan
pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia
merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari
segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati
kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini
sangat tepat yaitu “educate the head, the
heart, and the hand”.
ANDRAGOGI
(Sebuah Konsep Teoritik)
A. Pengertian
Andragogi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni Andra berarti orang dewasa dan agogos berarti memimpin. Perdefinisi andragogi kemudian dirumuskan sebagai "Suatu seni dan ilmu untuk membantu orang dewasa belajar". Kata andragogi pertama kali digunakan oleh Alexander Kapp pada tahun 1883 untuk menjelaskan dan merumuskan konsep-konsep dasar teori pendidikan Plato. Meskipun demikian, Kapp tetap membedakan antara pengertian "Social-pedagogy" yang menyiratkan arti pendidikan orang dewasa, dengan andragogi. Dalam rumusan Kapp, "Social-pedagogy" lebih merupakan proses pendidikan pemulihan (remedial) bagi orang dewasa yang cacat. Adapun andragogi, justru lebih merupakan proses pendidikan bagi seluruh orang dewasa, cacat atau tidak cacat secara berkelanjutan.
B. Andragogi dan Pedagogi
Malcolm Knowles menyatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang belajar selama ini adalah merupakan kesimpulan dari berbagai kajian terhadap perilaku kanak-kanak dan binatang percobaan tertentu. Pada umumnya memang, apa yang kita ketahui kemudian tentang mengajar juga merupakan hasil kesimpulan dari pengalaman mengajar terhadap anak-anak. Sebagian besar teori belajar-mengajar, didasarkan pada perumusan konsep pendidikan sebagai suatu proses pengalihan kebudayaan. Atas dasar teori-teori dan asumsi itulah kemudian tercetus istilah "pedagogi" yang akar-akarnya berasal dari bahasa Yunani, paid berarti kanak-kanak dan agogos berarti memimpin. Kemudian Pedagogi mengandung arti memimpin anak-anak atau perdefinisi diartikan secara khusus sebagai "suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak". Akhirnya pedagogi kemudian didefinisikan secara umum sebagai "ilmu dan seni mengajar".
Untuk memahami perbedaan antara pengertian pedagogi dengan pengertian andragogi yang telah dikemukakan, harus dilihat terlebih dahulu empat perbedaan mendasar, yaitu :
1. Citra Diri
Citra diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Pada saat anak itu menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Perubahan dari citra ketergantungan kepada orang lain menjadi citra mandiri. Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak. Dalam masa dewasa ini, seseorang telah memiliki kemauan untuk mengarahkan diri sendiri untuk belajar. Dorongan hati untuk belajar terus berkembang dan seringkali justru berkembang sedemikian kuat untuk terus melanjutkan proses belajarnya tanpa batas. Implikasi dari keadaan tersebut adalah dalam hal hubungan antara guru dan murid. Pada proses andragogi, hubungan itu bersifat timbal balik dan saling membantu. Pada proses pedagogi, hubungan itu lebih ditentukan oleh guru dan bersifat mengarah.
2. Pengalaman
Orang dewasa dalam hidupnya mempunyai banyak pengalaman yang sangat beraneka. Pada anak-anak, pengalaman itu justru hal yang baru sama sekali.Anak-anak memang mengalami banyak hal, namun belum berlangsung sedemikian sering. Dalam pendekatan proses andragogi, pengalaman orang dewasa justru dianggap sebagai sumber belajar yang sangat kaya. Dalam pendekatan proses pedagogi, pengalaman itu justru dialihkan dari pihak guru ke pihak murid. Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan pedagogi, karena itu, dilaksanakan dengan cara-cara komunikasi satu arah, seperti ; ceramah, penguasaan kemampuan membaca dan sebagainya. Pada proses andragogi, cara-cara yang ditempuh lebih bersifat diskusi kelompok, simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam proses seperti itu, maka semua pengalaman peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber belajar.
3. Kesiapan Belajar
Perbedaan ketiga antara pedagogi dan andragogi adalah dalam hal pemilihan isi pelajaran. Dalam pendekatan pedagogi, gurulah yang memutuskan isi pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses pemilihannya, serta kapan waktu hal tersebut akan diajarkan. Dalam pendekatan andragogi, peserta didiklah yang memutuskan apa yang akan dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya sendiri. Guru sebagai fasilitator.
4. Nirwana Waktu dan Arah Belajar
Pendidikan seringkali dipandang sebagai upaya mempersiapkan anak didik untuk masa depan. Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan masalah ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu, andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu pengalaman kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada saat ini. Untuk menemukan "dimana kita sekarang" dan "kemana kita akan pergi", itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Maka belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti "memecahkan masalah hari ini", sedangkan pada pendekatan pedagogi, belajar itu justru merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan suatu waktu kelak.
C. Langkah-langkah Pelaksanaan Andragogi
Langkah-langkah kegiatan dan pengorganisasian program pendidikan yang menggunakan asas-asas pendekatan andragogi, selalu melibatkan tujuh proses sebagai berikut :
1. Menciptakan iklim untuk belajar
2. Menyusun suatu bentuk perencanaan kegiatan secara bersama dan saling membantu
3. Menilai atau mengidentifikasikan minat, kebutuhan dan nilai-nilai
4. Merumuskan tujuan belajar
5. Merancang kegiatan belajar
6. Melaksanakan kegiatan belajar
7. Mengevaluasi hasil belajar (menilai kembali pemenuhan minat, kebutuhan dan pencapaian nilai-nilai.
Andragogi dapat disimpulkan sebagai :
1. Cara untuk belajar secara langsung dari pengalaman
2. Suatu proses pendidikan kembali yang dapat mengurangi konflik-konflik sosial, melalui kegiatan-kegiatan antar pribadi dalam kelompok belajar itu
3. Suatu proses belajar yang diarahkan sendiri, dimana kira secara terus menerus dapat menilai kembali kebutuhan belajar yang timbul dari tuntutan situasi yang selalu berubah.
(Sebuah Konsep Teoritik)
A. Pengertian
Andragogi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni Andra berarti orang dewasa dan agogos berarti memimpin. Perdefinisi andragogi kemudian dirumuskan sebagai "Suatu seni dan ilmu untuk membantu orang dewasa belajar". Kata andragogi pertama kali digunakan oleh Alexander Kapp pada tahun 1883 untuk menjelaskan dan merumuskan konsep-konsep dasar teori pendidikan Plato. Meskipun demikian, Kapp tetap membedakan antara pengertian "Social-pedagogy" yang menyiratkan arti pendidikan orang dewasa, dengan andragogi. Dalam rumusan Kapp, "Social-pedagogy" lebih merupakan proses pendidikan pemulihan (remedial) bagi orang dewasa yang cacat. Adapun andragogi, justru lebih merupakan proses pendidikan bagi seluruh orang dewasa, cacat atau tidak cacat secara berkelanjutan.
B. Andragogi dan Pedagogi
Malcolm Knowles menyatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang belajar selama ini adalah merupakan kesimpulan dari berbagai kajian terhadap perilaku kanak-kanak dan binatang percobaan tertentu. Pada umumnya memang, apa yang kita ketahui kemudian tentang mengajar juga merupakan hasil kesimpulan dari pengalaman mengajar terhadap anak-anak. Sebagian besar teori belajar-mengajar, didasarkan pada perumusan konsep pendidikan sebagai suatu proses pengalihan kebudayaan. Atas dasar teori-teori dan asumsi itulah kemudian tercetus istilah "pedagogi" yang akar-akarnya berasal dari bahasa Yunani, paid berarti kanak-kanak dan agogos berarti memimpin. Kemudian Pedagogi mengandung arti memimpin anak-anak atau perdefinisi diartikan secara khusus sebagai "suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak". Akhirnya pedagogi kemudian didefinisikan secara umum sebagai "ilmu dan seni mengajar".
Untuk memahami perbedaan antara pengertian pedagogi dengan pengertian andragogi yang telah dikemukakan, harus dilihat terlebih dahulu empat perbedaan mendasar, yaitu :
1. Citra Diri
Citra diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Pada saat anak itu menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Perubahan dari citra ketergantungan kepada orang lain menjadi citra mandiri. Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak. Dalam masa dewasa ini, seseorang telah memiliki kemauan untuk mengarahkan diri sendiri untuk belajar. Dorongan hati untuk belajar terus berkembang dan seringkali justru berkembang sedemikian kuat untuk terus melanjutkan proses belajarnya tanpa batas. Implikasi dari keadaan tersebut adalah dalam hal hubungan antara guru dan murid. Pada proses andragogi, hubungan itu bersifat timbal balik dan saling membantu. Pada proses pedagogi, hubungan itu lebih ditentukan oleh guru dan bersifat mengarah.
2. Pengalaman
Orang dewasa dalam hidupnya mempunyai banyak pengalaman yang sangat beraneka. Pada anak-anak, pengalaman itu justru hal yang baru sama sekali.Anak-anak memang mengalami banyak hal, namun belum berlangsung sedemikian sering. Dalam pendekatan proses andragogi, pengalaman orang dewasa justru dianggap sebagai sumber belajar yang sangat kaya. Dalam pendekatan proses pedagogi, pengalaman itu justru dialihkan dari pihak guru ke pihak murid. Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan pedagogi, karena itu, dilaksanakan dengan cara-cara komunikasi satu arah, seperti ; ceramah, penguasaan kemampuan membaca dan sebagainya. Pada proses andragogi, cara-cara yang ditempuh lebih bersifat diskusi kelompok, simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam proses seperti itu, maka semua pengalaman peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber belajar.
3. Kesiapan Belajar
Perbedaan ketiga antara pedagogi dan andragogi adalah dalam hal pemilihan isi pelajaran. Dalam pendekatan pedagogi, gurulah yang memutuskan isi pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses pemilihannya, serta kapan waktu hal tersebut akan diajarkan. Dalam pendekatan andragogi, peserta didiklah yang memutuskan apa yang akan dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya sendiri. Guru sebagai fasilitator.
4. Nirwana Waktu dan Arah Belajar
Pendidikan seringkali dipandang sebagai upaya mempersiapkan anak didik untuk masa depan. Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan masalah ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu, andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu pengalaman kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada saat ini. Untuk menemukan "dimana kita sekarang" dan "kemana kita akan pergi", itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Maka belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti "memecahkan masalah hari ini", sedangkan pada pendekatan pedagogi, belajar itu justru merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan suatu waktu kelak.
C. Langkah-langkah Pelaksanaan Andragogi
Langkah-langkah kegiatan dan pengorganisasian program pendidikan yang menggunakan asas-asas pendekatan andragogi, selalu melibatkan tujuh proses sebagai berikut :
1. Menciptakan iklim untuk belajar
2. Menyusun suatu bentuk perencanaan kegiatan secara bersama dan saling membantu
3. Menilai atau mengidentifikasikan minat, kebutuhan dan nilai-nilai
4. Merumuskan tujuan belajar
5. Merancang kegiatan belajar
6. Melaksanakan kegiatan belajar
7. Mengevaluasi hasil belajar (menilai kembali pemenuhan minat, kebutuhan dan pencapaian nilai-nilai.
Andragogi dapat disimpulkan sebagai :
1. Cara untuk belajar secara langsung dari pengalaman
2. Suatu proses pendidikan kembali yang dapat mengurangi konflik-konflik sosial, melalui kegiatan-kegiatan antar pribadi dalam kelompok belajar itu
3. Suatu proses belajar yang diarahkan sendiri, dimana kira secara terus menerus dapat menilai kembali kebutuhan belajar yang timbul dari tuntutan situasi yang selalu berubah.
D. Prinsip-prinsip Belajar untuk Orang Dewasa
1. Orang dewasa belajar dengan baik apabila dia secara penuh ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan
2. Orang dewasa belajar dengan baik apabila menyangkut mana yang menarik bagi dia dan ada kaitan dengan kehidupannya sehari-hari.
3. Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila apa yang ia pelajari bermanfaat dan praktis
4. Dorongan semangat dan pengulangan yang terus menerus akan membantu seseorang belajar lebih baik
5. Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila ia mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuannya, kemampuannya dan keterampilannya dalam waktu yang cukup
6. Proses belajar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman lalu dan daya pikir dari warga belajar
7. Saling pengertian yang baik dan sesuai dengan ciri-ciri utama dari orang dewasa membantu pencapaian tujuan dalam belajar.
E. Karakteristik Warga Belajar Dewasa
1. Orang dewasa mempunyai pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda
2. Orang dewasa yang miskin mempunyai tendensi, merasa bahwa dia tidak dapat menentukan kehidupannya sendiri.
3. Orang dewasa lebih suka menerima saran-saran dari pada digurui
4. Orang dewasa lebih memberi perhatian pada hal-hal yang menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannya
5. Orang dewasa lebih suka dihargai dari pada diberi hukuman atau disalahkan
6. Orang dewasa yang pernah mengalami putus sekolah, mempunyai kecendrungan untuk menilai lebih rendah kemampuan belajarnya
7. Apa yang biasa dilakukan orang dewasa, menunjukkan tahap pemahamannya
8. Orang dewasa secara sengaja mengulang hal yang sama
9. Orang dewasa suka diperlakukan dengan kesungguhan iktikad yang baik, adil dan masuk akal
10. Orang dewasa sudah belajar sejak kecil tentang cara mengatur hidupnya. Oleh karena itu ia lebih suka melakukan sendiri sebanyak mungkin
11. Orang dewasa menyenangi hal-hal yang praktis
12. Orang dewasa membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat akrab dan menjalon hubungan dekat dengan teman baru.
F. Karakteristik Pengajar Orang Dewasa
Seorang pengajar orang dewasa haruslah memenuhi persyaratan berikut :
1. Menjadi anggota dari kelompok yang diajar
2. Mampu menciptakan iklim untuk belajar mengajar
3. Mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi, rasa pengabdian dan idealisme untuk kerjanya
4. Menirukan/mempelajari kemampuan orang lain
5. Menyadari kelemahannya, tingkat keterbukaannya, kekuatannya dan tahu bahwa di antara kekuatan yang dimiliki dapat menjadi kelemahan pada situasi tertentu.
6. Dapat melihat permasalahan dan menentukan pemecahannya
7. Peka dan mengerti perasaan orang lain, lewat pengamatan
8. Mengetahui bagaimana meyakinkan dan memperlakukan orang
9. Selalu optimis dan mempunyai iktikad baik terhadap orang
10. Menyadari bahwa "perannya bukan mengajar, tetapi menciptakan iklim untuk belajar"
11. Menyadari bahwa segala sesuatu mempunyai segi negatif fan pisitif.
Malcolm
Knowles dalam
publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species"
mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah
istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan
khususnya para ahli pendidikan.
Andragogi berasal dari bahasa
Yunani kuno "aner",
dengan akar kata andr- yang berarti laki-laki, bukan anak laki-laki atau orang
dewasa, dan agogos yang berarti membimbing atau membina. Disamping itu, ada
istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah
"pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogos"
artinya membimbing atau memimpin. Maka dengan demikian secara harafiah
"pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin
atau mengajar anak.
Karena pengertian pedagogi
adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila
menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pelatihan bagi orang dewasa jelas
tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Pada awalnya, bahkan
hingga sekarang, banyak praktek proses belajar dalam suatu pelatihan yang
ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan
dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang
berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan
pelatihan bagi orang dewasa.
Dengan demikian maka kalau
ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harafiah
dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang
dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya
sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar
adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri
dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training
/ Teaching)
Asumsi-AsumsiPokok
Malcolm Knowles dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
Malcolm Knowles dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
·
KonsepDiri
Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
·
PerananPengalaman
Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman).
Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman).
Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
·
KesiapanBelajar
Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi.
Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi.
Hal ini membawa implikasi terhadap materi
pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi
pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan
sosialnya.
·
OrientasiBelajar
Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa.
Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa.
Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga
karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih
bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera.
Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia
lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya
sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi.
Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
BeberapaImplikasiUntukPraktek
Dari uraian tersebut di atas telah diperoleh dan disimpulkan beberapa perbedaan teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan pedagogi (konvensional) yang menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dari uraian tersebut di atas telah diperoleh dan disimpulkan beberapa perbedaan teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan pedagogi (konvensional) yang menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dalam pedagogi atau
konvensional, karena berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter
Centered Orientation) maka implikasi yang timbul pada umumnya peranan
guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator sangat dominan. Pihak murid atau
peserta pelatihan lebih banyak bersifat pasif dan menerima. Paulo Freire,
menyebutnya sebagai "Sistem Bank" (Banking System). Hal ini
dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
·
Penentuan
mengenai materi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu disampaikan yang
bersifat standard dan kaku.
·
Penentuan
dan pemilihan prosedur dan mekanisme serta alat yang perlu (metoda &
teknik) yang paling efisien untuk menyampaikan materi pembelajaran.
·
Pengembangan
rencana dan bentuk urutan (sequence) yang standard dan kaku
·
Adanya
standard evaluasi yang baku untuk menilai tingkat pencapaian hasil belajar dan
bersifat kuantitatif yang bersifat untuk mengukur tingkat pengetahuan.
·
Adanya
batasan waktu yang demikian ketat dalam "menyelesaikan" suatu proses
pembelajaran materi pengetahuan dan ketrampilan.
Dalam andragogi, peranan guru,
pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan fasilitator adalah
mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif
seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan pendekatan partisipatif,
dalam proses belajar yang melibatkan elemen-elemen:
·
Menciptakan
iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri.
·
Menciptakan
mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif
·
Diagnosis
kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik
·
Merumuskan
tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar
·
Merencanakan
pola pengalaman belajar
·
Melakukan
dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai
·
Mengevaluasi
hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar. Ini adalah
model proses.
Oleh karena itu dalam memproses
interaksi belajar dalam pelatihan orang dewasa kegiatan dan peranan fasilitator
bukanlah memindahkan pengetahuan dan ketrampilan kepada peserta pelatihan.
Peranan dan fungsi fasilitator adalah mendorong dan melibatkan seluruh peserta
dalam proses interaksi belajar mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami
permasalahan nyata yang dihadapinya, memahami kebutuhan belajarnya sendiri,
dapat merumuskan tujuan belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya
sesuai dengan perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu.
Dengan begitu maka tugas dan
peranan fasilitator bukanlah memaksakan program atau kurikulum dari atas, dari
instansi, dari dinas, yang mereka buat di atas meja terlepas dari kebutuhan dan
permasalahan yang dihadapi.
Masalah seputar pendidikan kita.
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap
bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini
masih mengalami "sakit". Dunia pendidikan yang "sakit" ini
disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia,
tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak
memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sisten
pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan,
khususnya di Indonesia, menghasilkan "manusia robot". Kami katakan
demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata
lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang
antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa
(afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah
disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang
belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam
kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan
sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan
sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang
sekarang sering digembar-gemborkan sebagai "pendidikan yang menciptakan
manusia -- siap pakai". Dan "siap pakai" di sini berarti
menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan
bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan
nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen
pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi
lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu
yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias
oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down
(dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh
pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem
pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid)
dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi
mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran
yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid
dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru
ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan
tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang
disampaikan guru. Jadi
hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model
pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire
mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah
anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan
kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Masalah yang ketiga, dari model pendidikan
yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi
kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia
sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang
justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut
dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama
melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal
yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus
terlebur dalam "strategi kebudayaan Asia", sebab Asia kini telah
berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud
anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak
kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia
pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana
interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan
kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan
menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal
ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk
direnungkan.
Pendidikan kita
adalah pendidikan yang tidak berorientasi untuk mendidik emosi dan spiritual,
tetapi merupakan pendidikan yang hanya terfokuskan pada kecerdasan akal dan
logika saja (intelektual). Kurikulum, pengajaran dan kehendak masyarakat
menunjukkan mereka sudah puas dan menganggap telah tercapai target bila seorang
anak didik berprestasi dengan nilai-nilai yang excellent.
Lembaga pendidikan
yang menjamur, jumlah anak didik yang tidak terhitung, lulusan yang membludak
semakin mewarnai lembaran pendidikan, ini perlu dipertanyakan lagi. Beragamnya
lembaga pendidikan mengakibatkan tidak terkontrol kurikulum dan mutu pendidik,
terpecahnya pendidikan dari swasta dan negeri, pendidikan agama negeri dan
swasta, pendidikan umum, dayah, balai pengajian, diniyah menunjukkan semakin
rumitnya gambaran pendidikan kita, pendidikan yang tumbuh bagaikan
semak-belukar, tanpa aturan, standar mutu dan syarat-syarat keilmuan. Akibatnya
adalah pendidikan kita akan memproduk manusia-manusia yang premature,
busung-lapar dan kerdil dari standar pendidikan di negara lain.
Dilain pihak,
pendidikan kita adalah pendidikan supermarket, lihat saja bagaimana kebijakan
suatu universitas, yang menentukan standar universitas adalah pada berapa
bayaran dari mahasiswa, istilahnya adalah "semakin banyak penawaran maka
semakin mahal harga suatu barang" demikian juga dengan mata kuliah,
jurusan dan fakultas, jika banyak yang mendaftar ke suatu universitas maka
bayaran pun semakin mahal, sebaliknya semakin sedikit peminat suatu lembaga
pendidikan maka semakin murah bayarannya, bandingkan saja berapa bayaran
Fakultas Kedokteran dengan Fakultas Dakwah, atau bagaimana perbedaan pembayaran
STAI dengan Universitas misalnya. Dari hal ini maka tepat sekali dikatakan
bahwa mutu pendidikan kita adalah ditentukan oleh uang, sesuai dengan
masyarakatnya yang berkharakter materialisme. Maka tak dapat dihindari bahwa
menjadi orang terdidik adalah milik orang-orang yang beruang, tetapi orang
miskin harus tetap statusnya si-miskin, papa, bodoh, sengsara, tertindas dan
sebagainya.
The Question :
1.
Apa beda definisi pendidikan dan pengajaran, tolong sebutkan semua definisinya
dari semua sumber yang diketahui nara sumber?
"pendidikan n proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, pembuatan mendidik;"
(Ref. Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, P 263)
Definisi di kamus ini dilengkapi dengan semua macam pendidikan mislanya ~ akademik, ~ kesehatan, dll.
Tetapi, menurut saya yang penting dan kurang di definisi di atas adalah:
"pendidikan n proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, pembuatan mendidik;"
(Ref. Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, P 263)
Definisi di kamus ini dilengkapi dengan semua macam pendidikan mislanya ~ akademik, ~ kesehatan, dll.
Tetapi, menurut saya yang penting dan kurang di definisi di atas adalah:
- Meningkatkan pengetahuan, pengertian, kesadaran, dan toleransi
- Meningkatkan "questioning skills" dan kemampuan menganalisakan sesuatu - termasuk pendidikannya!
- Meningkatkan kedewasaan individu - dari definisi di atas kami harus sangat kuatir kalau tujuannya hanya "pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok" - kita perlu tahu; (a) merubah sesuai dengan keinginan siapa, (b) menguntungkan siapa, (c) apakah kita menjadi robot atau manusia kalau "sikap dan tata laku" sama?
- Untuk perkembangan negara (negara yang mana saja) kami sangat perlu pendidikan yang menghargai kreativitas dan "individual thinking" supaya negara dapat membuat sesuatu yang baru dan lebih baik (tidak hanya meng-copy negara lain).
"pengajaran n 1 proses, cara,
perbuatan mengajar atau mengajarkan; 2 perihal mengajar; segala sesuatu
mengenai mengajar; 3 peringatan"
(Ref. Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, P 17)
Dari definisi "pendidikan" di atas Anda dapat melihat hubungan dan bedanya pendidikan dan pengajaran (di-underline).
(Ref. Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, P 17)
Dari definisi "pendidikan" di atas Anda dapat melihat hubungan dan bedanya pendidikan dan pengajaran (di-underline).
2.
Bagaimana sistem pengajaran andragogik yang benar pada perguruan tinggi?
1.
Setelah membahas hal pedagogi / andragogi beberapa tahun di Universitas
Griffith waktu saya kuliah (jurusan Pendidikan Dewasa, Kejuruan, dan SDM)
keputusan saya adalah bahwa kalau kita anggap semua pelajar kita (SD sampai PT)
sebagai dewasa (matang) proses belajar/mengajar akan lebih lancar dan
pelajarannya akan lebih menarik. Jadi, Apa bedanya? Memang saran ini perlu
dijelaskan tetapi ini bukan forumnya.
2.
Juga (menurut saya), tidak ada "satu" sistem
pengajaran yang "terbaik". Kami tidak dapat melepas kewajiban kita
untuk menggunakan segala sistem (dan metodologi) supaya pelajar kita dapat
belajar secara efisien. Tetapi, di perguruan tinggi kita wajib untuk mengajar
pelajar kita "cara belajar secara mandiri" supaya mereka akan siap
untuk "Life-long Learning" dan kemandirian (ref. poin-poin di atas
"pendidikan"). Mohon perhatian - cara belajar pendidikan
"non-formal" adalah hal yang sangat penting (apa lagi di Indonesia).
- Damanhuri Khazin, 4 pilar
proses pendidikan
- SUPRIADI, ANDRAGOGI (SEBUAH
KONSEP TEORITIK)
- kamus besar bahasa indonesia
- phillip rekdale, pendidikan
networking
-FAIzal djabbar, pendidikan antikorupsi dan multikulturalisme
- determinasi ekonomi pendidik
dan peserta didik
- yuli kwartolo, memahami proses
pendidikan secara benar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar