Jumat, 23 September 2011

PENGANTAR PENDIDIKAN


Pengertian :
a. Pendidikan menurut pengertian Yunani adalah pedagogik, yaitu : ilmu menuntun anak.
b. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia.
c. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara dengan educare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan/potensi anak.
d. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti panggulawentah (pengolahan - Red), mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
e. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendekatan holistik dalam proses pendidikan menuntut penyelenggara pendidikan untuk tidak hanya mentransfer knowledge, skills, tetapi juga attitude kepada peserta didiknya. Proses pendidikan ini mengawinkan hal-hal yang bersifat obyek material dengan obyek formal (attitude), meliputi spiritualisme, moral, etika, dan budaya. Konsep ini juga sejalan dengan konsep Lima Visi Pendidikan dari Unesco: Learning how to think, how to do, how to be, how to learn, how to live together.

Mendidik bukan menciptakan mesin-mesin manusia. Dalam istilah Jurgen Habermas disebut sebagai hegemoni ratio instrumentalis. Sistem pendidikan yang digelontorkan dengan sistem satu sisi mata uang ini, menurut dia, akan menghasilkan output manusia-manusia mekanis yang kering dari nuansa kebasahan ruang diri atau one dimensi man. Mendidik adalah suatu proses memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia membutuhkan nilai-nilai egaliter dan suasana demokratis.


Tujuan :
adalah memanusiakan manusia muda. Selain itu, pendidikan juga bertujuan mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.

Proses :
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti.
Menghadapi abad ke-21, UNESCO melalui “The International Commission on Education for the Twenty first Century" yang dipimpin oleh Jacques Delors merekomendasikan pendidikan yang berkelanjutan (seumur hidup) yang dilaksanakan berdasarkan empat pilar proses pembelajaran, yaitu:
1. Learning to know (Belajar untuk menguasai..pengetahuan)
Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan. Belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupan.
Guna merealisir learning to know, pendidik seyogyanya tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga fasilitator. Di samping itu pendidik dituntut dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan peserta didik dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu
2. Learning to do (Belajar untuk menguasai keterampilan )
Pendidikan merupakan proses belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do). Proses belajar menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan nilai. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.
Learning to do bisa berjalan jika lembaga pendidikan memfasilitasi peserta didik untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan, namun tumbuh berkembangnya tergantung pada lingkungannya. Dewasa ini keterampilan bisa digunakan menopang kehidupan seseorang, bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.
3. Learning to be (Belajar untuk mengembangkan diri)
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses belajar menjadi diri sendiri (learning to be). Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma & kaidah yang berlaku di masyarakat, serta belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya adalah proses pencapaian aktualisasi diri.
Pengembangan diri secara maksimal (learning to be) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak & kondisi lingkungan nya. Kemampuan diri yang terbentuk di sekolah secara maksimal memungkinkan anak untuk mengembangkan diri pada tingkat yang lebih tinggi.
4. Learning to live together (Belajar untuk hidup .bermasyarakat)
Dengan kemampuan yang dimiliki, sebagai hasil dari proses pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, sekaligus mampu menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together).
Salah satu fungsi sekolah adalah tempat bersosialisasi, artinya mempersiapkan siswa untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan di lingkungan sekolah. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya "learning to live together".
            Pada dasarnya proses pendidikan adalah proses transformasi atau proses perubahan kualitas tingkah laku individu (Edgar Faure,et.al,1981). Perubahan tingkah laku yang diharapkan bukanlah sekedar perubahan dalam penambahan jenis tingkah laku, tetapi perubahan struktural yang berkenaan dengan perubahan dalam pola tingkah laku atau pola kepribadian yang makin sempurna. Transformasi pendidikan tidak hanya dimaksudkan agar seseorang makin banyak mengerti tentang segala sesuatu, tetapi terutama agar orang tersebut makin memiliki kemampuan untuk meningkatkan taraf hidupnya lahir batin dalam peranannya sebagai pribadi, warga masyarakat, warga negara dan makhluk Tuhan.
                 Atas pijakan yang demikian, maka proses pendidikan dapat dipahami sebagai upaya manusia mentransformasikan atau mengubah kemampuan potensial seseorang menjadi kemampuan nyata yang diperlukan dalam meningkatkan taraf hidup lahir batin.
            Sebagai proses, maka di dalam pendidikan ada interaksi fungsional antarkomponen pendidikan yang juga berinterdependen satu sama lainnya. Sesuai fungsinya menyongsong hari esok, maka pendidikan selayaknya dilandaskan bukan saja pada apa yang diketahui oleh pendidik/guru/dosen tentang hidup dan kehidupan, melainkan juga pada apa yang dikehendaki dari hidup dan kehidupan itu (Rakajoni,1992).

Teori :
1.      Teori Henri J.M. Nouwen
            menyebutkan proses pendidikan/pengajaran yang muncul dalam masalah-masalah di seputar pendidikan sebagai akibat dari jalannya pengajaran yang diwarnai kekerasan. Menurutnya ada tiga ciri dari pengajaran sebagai proses yang diwarnai kekerasan, yaitu : persaingan, satu arah dan mengasingkan. Proses pengajaran yang diwarnai kekerasan itu menurut Nouwen dapat merusak hakikat pendidikan. Oleh karena itu Nouwen membuat suatu model pendidikan/pengajaran yang disebutnya "Pengajaran sebagai proses yang membebaskan". Model tersebut berpijak pada tiga hal, yaitu : evokatif, dua arah dan mengaktualisasikan.

1. Evokatif

Persaingan sebagai salah satu ciri dari proses pengajaran yang diwarnai kekerasan, merupakam salah satu yang merusak sistem pendidikan yang ada. Persaingan menyebabkan cara pandang murid terhadap kawannya dan gurunya menjadi salah. Akibatnya, persaingan dapat menimbulkan perasaan takut yang dapat melumpuhkan pada diri seorang siswa karena hasil yang mereka capai. Ketakutan ini membuat banyak peserta didik terlalu peka dan cenderung curiga terhadap kawan atau guru mereka. Perasaan takut membuat mereka rendah diri, mempertahankan diri dalam hubungan dengan orang lain, was-was akan kemungkinan gagal serta ragu-ragu untuk mengambil resiko atau untuk mengerjakan hal-hal yang baru dan tidak terduga.

Karena perasaan takut, persaingan menjadi hambatan besar dalam perkembangan kepribadian yang utuh. Namun di dalam pendidikan yang membebaskan, hubungan guru-murid bersifat membebaskan yaitu masing-masing pihak mencoba untuk membangkitkan kemampuan yang dimiliki oleh pihak yang lain dan menjadikannya dapat tersedia satu bagi yang lain. Kalau seorang murid menghendaki seorang guru maka dia harus memberikan kebebasan kepada orang itu untuk menjadi gurunya dengan membagikan pengalamannya sebagai sumber pemahaman dan pengertian. Di dalam diskusi kelas pun murid dapat menawarkan pengalaman hidup mereka kepada guru dan kawan-kawan, sehingga dalam hal ini persaingan tidak ada lagi, dan guru bukanlah hakim yang menakutkan akan tetapi orang yang diberi kesempatan menjadi guru dan mendorong murid agar semakin terbuka untuk belajar. Dalam pengertian ini, guru juga menjadi seorang sahabat bagi murid.

2. Dua Arah

Kalau dalam pengajaran yang diwarnai proses kekerasan sistemnya adalah satu arah, yaitu murid hanya menerima apa yang dikatakan oleh guru, maka dalam proses yang membebaskan/pengajaran yang membebaskan terjadi dalam dua arah. Guru belajar dari murid dan murid juga belajar dari guru. Guru dan murid adalah teman seperjalanan mencari yang benar, bernilai dan sahih (dapat dipertanggung jawabkan) dan yang saling memberikan kesempatan untuk berperan satu terhadap yang lain. Guru tidak perlu takut kalau murid lebih mengerti daripada dirinya dan tidak perlu merasa kehilangan kehormatan, karena justru dengan demikian mereka telah membebaskan murid dari perasaan takut dan memberikan kepada murid kebebasan untuk berkembang.

3. Mengaktualisasikan

Pengajaran bukannya untuk mengasingkan, dengan mengarahkan kesadaran peserta didik keluar dari diri mereka sendiri dan menjauh dari hubungannya yang langsung dengan kenyataan saat ini dalam dirinya dan lingkungannya.
Akan tetapi pengajaran harus mengaktualisasikan. Artinya, kalau belajar dalam pengertian tertentu merupakan persiapan untuk hidup di masa depan, maka hanya dapat terjadi demikian kalau masa depan itu menjadi nyata dalam hubungan pengajaran sekarang dan di sini. Untuk membangun dunia yang lebih baik, awal dari dunia itu harus tampak dalam hidup sehari-hari. Tidak ada alasan untuk mengharapkan akan terjadi banyak hal di masa depan kalau tanda-tanda harapan itu tidak ditampakkan pada masa kini. Kita tidak dapat berbicara mengenai cara-cara untuk membawa damai dan pembebasan kalau kita tidak dapat menyimpulkannya dari pengalaman kita sendiri mengenai damai dan kebebasan yang kita alami sekarang dan di sini, di dalam dunia dan sistem pendidikan kita. Kita tidak dapat melibatkan diri pada perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kasih dalam masyarakat yang akan datang, kalau kita tidak dapat menemukan benih-benih keadilan dan kasih itu dalam keterlibatan kita sekarang dan dalam pelaksanaan sistem pendidikan kita.
“Sekolah, sebagai bagian dari sistem pendidikan, adalah tempat di mana persaudaraan dapat dialami, di mana orang dapat hidup bersama tanpa merasa takut satu sama lain dan belajar didasarkan pada pertukaran pengalaman dan gagasan yang kreatif. Oleh karena itu bagi mereka yang selesai sekolah, akan mempunyai keinginan yang semakin besar untuk membawa apa yang mereka alami selama bertahun-tahun di sekolah ke dunia yang lebih luas. Sekolah bukanlah arena latihan untuk mempersiapkan orang masuk ke dalam kekerasan masyarakat (yang keras), tetapi merupakan tempat di mana masyarakat yang merdeka dapat dicoba dibangun dan ditawarkan kepada dunia modern, sebagai gaya hidup yang lain.”
  1. Teori Paolo Freire
        seorang pendidik praksis revolusioner berbasis paradigma liberasionisme (pembebasan). Gagasan Freire banyak dianggap sebagai gagasan pembebasan penuh pendidikan institusional dan mengacu pada pembebasan masyarakat dalam mengenyam pendidikan. Gagasan ini banyak disetarakan dengan teori anarkis mengenai praktik ajar-mengajar yang dinilai sudah cenderung menjadi komoditas kapitalistik yang tidak lepas dari usaha pemenuhan kebutuhan semu terhadap tuntutan masyarakat semu produk sistem kapitalis. Putar-ulang seluruh gagasan pendidikan sebagai kritik terhadap sistem dan metode pendidikan yang sudah baku adalah gagasan para anarkisdari sini muncul 
istilah 'deschooling society' yang menyatakan sikap para anarkis. Freire kemudian sangat dekat dengan para penggagas anarkis ini terutama karena rasa antipati terhadap sistem kapitalistik dan karena sifat praksis serta revolusioner Freire.
               Tatanan nilai positif Freire dapat disejajarkan dengan tema pendidikan yang berkembang akhir-akhir ini: apakah institusi pendidikan berniat mencetak manusia mekanistis, atau berusaha untuk lebih menghasilkan manusia yang berbudaya? Manusia yang berbudaya di sini mungkin lebih diarahkan pada peraihan kebebasan dan humanisasi, sesuai dengan niat Freire. 
               Beberapa konsep Freire mengenai pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan dapat dilihat di bawah ini: 
(1) Pendidikan ditujukan pada kaum tertindas dengan tidak berupaya menempatkan kaum tertindas dan penindas pada dua kutub berseberangan. Pendidikan bukan dilaksanakan atas kemurah-hatian palsu kaum penindas untuk mempertahankan status quo melalui 
penciptaan dan legitimasi kesenjangan. Pendidikan kaum tertindas lebih diarahkan pada pembebasan perasaan/idealisme melalui persinggungannya dengan keadaan nyata dan praksis. Penyadaran atas kemanusiaan secara utuh bukan diperoleh dari kaum penindas, 
melainkan dari diri sendiri. Dari sini sang subjek-didik membebaskan dirinya, bukan untuk kemudian menjelma sebagai kaum penindas baru, melainkan ikut membebaskan kaum penindas itu sendiri. Pendidikan ini bukan bertujuan untuk menjadikan kaum tertindas menjadi lebih terpelajar, tetapi untuk membebaskan dan mencapai kesejajaran 
pembagian pengetahuan. 
(2) Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan Freire adalah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terus-menerus. Pendidikan bukan menuntut ilmu, tetapi bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua orang tanpa kecuali.
(3) Kesadaran dan kebersamaan adalah kata-kata kunci dari pendidikan yang membebaskan dan kemudian memanusiakan. 

Ada tiga tipe fokus yang dilakukan dalam pendidikan, yaitu; materi pengajaran, anak didik/siswa atau mahasiswa dan yang terakhir model memfokuskan kepada mahasiswa dan materi pelajaran sekaligus.
1. Mendidik dengan hanya mementingkan dimensi mata pelajaran saja, tanpa memperdulikan aspek anak didik; seperti akhlak, kehadiran, disiplin dan penampilan anak didik adalah model pendidikan yang sifatnya untuk anak didik yang jumlah anak didik banyak, tidak terjangkau oleh ruang dan waktu, sehingga standar kelulusan mahasiswa atau anak didik hanya ditentukan oleh penguasaan materi yang telah ditentukan oleh pendidik, artinya semakin tinggi penguasaan materi maka akan semakin tinggi kelas dan derajat anak didik.
Pendidik maupun anak didik tidak perlu menghiraukan kedisiplinan, kehadiran, khitmat kepada guru, apalagi mengenal guru atau dosen pendidik mereka, tugas utama pendidik adalah mengarang buku, minimal diktat. Sedangkan pihak universitas, memeriksakan kelayakan buku pegangan tersebut yang diwakilkan kepada badan tertentu misalnya: Lembaga Pengendalian Mutu, hai`atul tadris wa ta`lim. Setiap tahunnya badan ini akan selalu mengadakan penyeleksian terhadap buku-buku pengangan yang dikarang calon dosen, karena syarat utama menjadi pendidik atau dosen adalah menjadi pemenang dalam penseleksian buku pegangan yang diseleksi lembaga universitas.
Standar buku pegangan berbeda antara universitas dengan universitas lainnya, paling kurang mereka memakai target memenuhi dua potensi dasar yang dikandung dalam buku pegangan tersebut, pertama potensi hafalan dan kedua potensi nalar. Harapan universitas adalah jika mahasiswa telah menguasai buku pengangan tersebut maka mahasiswa telah dibekali semua kemampuan dasar tentang objek tertentu dari mata kuliah.
Biasanya model yang dilakukan dalam pembuatan buku pegangan adalah; buku pegangan harus telah menjelaskan tentang segala pengertian-pengertian, idrak al-tassawur (concepts), tentang sesuatu berkenaan dengan ilmu yang dipelajarinya dan kata-kata kunci dalam pelajaran tersebut. Untuk mendapatkan pengertian yang benar tentang suatu kata maka harus dicari segala kata-kata lain yang memiliki makna yang sama atau serupa. Setelah kata-kata yang serupa atau  sama ditemukan maka dicari perbedaan makna dari kata-kata tersebut dengan makna kata yang sedang dicari. Untuk bisa menemukan kesamaan dan perbedaan antara kata tadi mesti menganalisa dengan membagi-bagi setiap kata tersebut kepada lima kulliyat yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri atau konsep dengan mengunakan "kulliyat khamsah". Lima kulliyah itu adalah: [1] Nau' (species), [2] jins (genus), [3] fashl (differentia), [4] 'aradh 'aam (common accidence) dan [5] 'aradh khas (proper accidence).  Menganalisa seluruh hal yang mungkin dikandung oleh makna kata disebut jami` dan membeda setiap hal dengan essence maka tadi disebut mani`.
Disamping itu, buku itu harus juga menjelaskan tentang tasdiq, idrak al-tasdiq (composition). Maksudnya adalah setiap mahasiswa dipastikan setelah mempelajari buku pengangan tersebut bisa membuat gabungan-gabungan kata berupa mengandung kebenaran-kebenaran tertentu yang dikandungi ilmu tersebut, seperti: kalimat badihi dan dharuri (A Priori, analytic, The necessary) dan harus bisa menghasilkan juga thesis, anti thesis dari ilmu yang sama, apakah thesis-thesis tersebut dihasilkan melalui logika, experimental ataupun gabungan keduanya (reflektif). Target ini dianggap telah tercapai bila mahasiswa dapat membuat kebenaran-kebenaran A posteriori, synthetic dan contingent (kebenaran nadhari)[ii].
            Model ini menuntut mahasiswa kemandirian yang luar biasa. Mahasiswa dipaksakan menjadi dewasa, dia harus mawas, karena lulus atau tidak lulus dia hanya ditentukan oleh dirinya sendiri. Mereka tidak diawasi sama sekali.
            Bisa kita pastikan bahwa model ini juga tidak terjalin hubungan psikologis antara pendidik dengan anak didik; kenal mengenal, pribadi, kasih-sayang dan bela-membela. Konsekwansinya adalah sangat positif, pendidik tidak pernah dapat dipengaruhi oleh mahasiswa/anak didik atau orang tua didik, dan dosen tidak terpengaruh oleh subjek lain dalam memberi nilai kepada anak didiknya. Pada dasarnya dosen tidak punya hak memberi nilai dan menentukan mahasiswa lulus ataupun tidak lulus, hak dosen adalah mengajar, memastikan anak didik mampu menyerap ilmu-ilmu yang diajarkan dan menyetorkan soal-soal final ujian kepada haitul tadrus wal ta`lim dalam lebih dari tiga lipat soal yang akan diujiankan, sedangkan yang menentukan soal mana yang akan keluar dari sekian banyak soal pilihan yang diberikan dosen, lulus tidak lulus mahasiswa adalah lembaga haitul tadrus watt a`lim dan beberapa dosen structural yang terlibat langsung dalam peningkatan mutu universitas.
            Sistem belajar ini juga berbeda sekali dengan sistem dikenal dalam bentuk SKS, mahasiswa bila berasil menyelesaikan semua mata kuliah atau minimal dua mata kuliah dalam satu tahun maka ia akan naik kelas, tetapi bila tidak lulus tiga atau lebih dari mata kuliah dalam satu tahun maka ia harus mengulang lagi ke tahun depan untuk menyelesaikan mata kuliah yang tertinggal (sistem al-Azhar),sedangkan di lain tempat (di Universitas Qurawiyien, Maroko) harus mengulangi semua mata kuliah, meski yang tinggal hanya tiga mata kuliah. Sistem ini juga tidak menyeleksi mahasiwa baru yang mendaftar ke universitas, jumlah mahasiswa untuk setiap lokal tidak dibatasi dengan ketat, tidak ada peraturan mesti bertatap muka dengan dosen dan lain-lain.
 Model diatas adalah model yang khususnya dipakai untuk pendidikan tingkat strata satu keatas dan sering diterapkan di universitas-unversitas terkemuka dan terpopular, seperti al-Azhar di Mesir, Universitas Qurawiyien di Maroko[iii], Universitas Zaitunah di Tunisia dan beberapa universitas lainnya di Jerman.

2.  Model kedua adalah kebalikan model diatas yang menfokuskan kepada anak didik. Keberhasilan dan kegagalan pendidikan selalu ditentukan oleh kualitas subjektif anak didik, pendidikan ini sangat mengutamakan sikap, tingkah-laku, hubungan psychologis dan fisik antara anak didik dengan pendidik, kualitas penguasaan materi tidak begitu menentukan terhadap sukses dan tidak suksesnya anak didik. Dari naturenya pendidikan ini sangat cocok untuk pendidikan tingkat kanak-kanak hingga Sekolah Menenggah Pertama (SMP), sedangkan menengah keatas sudah perlu dimodifikasikan dengan penambahan aspek kognitif.
            Pada dasarnya, pendidikan pola kedua ini adalah pendidikan yang membina kecerdasan emosional atau disebut juga dengan pendidikan karakter, namun pola pertama diatas adalah pendidikan kecerdasan intelektual. Pola kedua ini sangat berguna untuk anak didik permulaan (dari Tingkat Kanak-kanak/TK hingga Sekolah Tingkat Pertama), karena sesungguhnya nabi sendiri pada dasarnya mementingkan sekali pendidikan emosional sejak dini (dalam kandungan), sehingga wajar saja nabi bersabda: "sesungguhnya tidaklah saya diutuskan kecuali untuk memperbaiki akhlak". Dalam hadist lain: "Dalam tubuh terdapat sepotong daging (hati), apabila ia baik maka baiklah badan itu seluruhnya dan apabila ia rusak maka rusaklah badan itu seluruhnya. Sepotong daging itu adalah hati".  (HR. Bukhari dan Muslim[iv]).
Inti pendidikan karakter adalah; suatu masyarakat akan sukses mengapai kemajuannya jika mayoritas masyarakatnya berkharater positif, sebaliknya jika mayoritas masyarakat berkarakter negatif, maka dapat dipastikan masyarakat itu tidak bisa maju. Hal ini dikarenakan suatu masyarakat yang berkarakter positif, mereka sudah memiliki modal dasar untuk mengapai kemajuan, seperti sifat jujur, mandiri, bekerja-sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya dan lain-lain. Sifat-sifat positif diatas memastikan suatu masyarakat bisa bekerja sama, dipercaya, mementingkan kepada orang lain, bisa diatur, bila hal tadi memungkinkan dilakukan dalam masyarakat maka secara pasti sebuah peradaban dapat dibangun.
Sebaliknya,s masyarakat yang mayoritas berkarakter negatif maka masyarakat ini tidak dapat dibangun, apalagi menjadi masyarakat yang berperadaban tinggi. Karena karakter negatif yang mereka lakukan dapat menghambat kerjasama antara intern dan extern, tidak dapat dipercaya, begitu juga tidak rajin, tidak punya etos kerja dan lain-lain yang akan menghambat masyarakat ini untuk maju. Maka pendidikan karakter dalam rangka mencapai tujuan tersebut, yaitu; bagaimana menciptakan mayoritas masyarakat berkarakter positif.

3. Model ketiga yaitu; menerapkan sistem SKS (Sistem Kredit Semester), yang menilai segi subjektif dan objektif sistem belajar mengajar atau pemfokusan terhadap anak didik dan materi kuliah sekaligus adalah pendidikan yang umumnya ditetapkan di dunia sekarang. Dari sejak adanya hingga sekarang, sistem SKS ini telah terjadi modifikasi-modifikasi untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dimiliki sebelumnya.
Paling tidak pendidikan ini membangun paradigma pendidikan baru, menjadikan anak didik anak yang berpengetahuan (learning to know), membuat anak didik menjadi manusia (learning to be), membentuk kepedulian untuk berbuat (learning to do), dan mengajak mereka untuk dapat hidup bersama di tengah masyarakat (learning to live together).
Teori pendidikan mengenal tiga ranah tujuan pendidikan: kognisi, afeksi, dan konasi.
1.       Ranah kognisi menekankan aspek penerimaan informasi. Kemudian, peserta didik mampu menjelaskan kembali informasi yang telah diserap. Kemampuan kognisi berguna mengombinasikan cara-cara baru dan mensintesiskan ide-ide baru. Mengetahui, mengingat, memahami, menganalisis, dan mengevaluasi merupakan tujuan di domain kognisi.
2.       Ranah afeksi menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai, dan tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu.
3.       Ranah konasi (psikomotorik) menitikberatkan pada tujuan melatih keterampilan teknis, memanipulasi gerak, merangkai berbagai gerak, dan meniru gerak. Ketiga domain itu idealnya seimbang. Adanya keselarasan sisi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Faktor – Faktor yg Mempengaruhi :
Sutari Imam Barnadib (1995:35) menyatakan bahwa ada lima faktor pendidikan yang saling mempengaruhi dan saling berhubungan satu sama lain. Kelima faktor tersebut yaitu: faktor tujuan, faktor pendidik, faktor anak didik, faktor alat-alat, dan faktor alam sekitar (milieu).
1. Faktor tujuan mengisyaratkan bahwa perbuatan mendidik tidak boleh diadakan tanpa ada kesanggupan dan tanpa disadari.
2. Tiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan lebih tinggi biasa disebut pendidik.
3. Anak didik diartikan sebagai tiap orang atau sekelompok orang yang menerima pengaruh dan seorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan.
4. Alat pendidikan sendiri yaitu perbuatan atau situasi yang diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan.
5. Faktor alam sekitar adalah segala sesuatu yang ada di sekeliling alat.
Secara sederhana ada dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pendidikan, yaitu faktor yang berasal dalam diri individu yang sedang belajar, dan faktor yang berasal dan luar diri individu.
1. Faktor yang terdapat di dalam individu dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor psikis dan faktor fisik. Kedua faktor tersebut keberadaannya ada yang ditentukan oleh faktor keturunan, ada juga yang oleh faktor lingkungan, dan ada pula yang ditentukan oleh keturunan dan lingkungan.
2. Sedangkan faktor berasal dan luar individu dikelompokkan menjadi faktor lingkungan alam, sosial-ekonomi, pendidik, metode mengajar, kurikulum, program, matode pelajaran, dan sarana dan prasarana.
Jenis2 :
  1. Pendidikan Formal
  2. Pendidikan Non formal

Ki Hajar Dewantara :
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.

ANDRAGOGI
(Sebuah Konsep Teoritik)


A. Pengertian
Andragogi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni Andra berarti orang dewasa dan agogos berarti memimpin. Perdefinisi andragogi kemudian dirumuskan sebagai "Suatu seni dan ilmu untuk membantu orang dewasa belajar". Kata andragogi pertama kali digunakan oleh Alexander Kapp pada tahun 1883 untuk menjelaskan dan merumuskan konsep-konsep dasar teori pendidikan Plato. Meskipun demikian, Kapp tetap membedakan antara pengertian "Social-pedagogy" yang menyiratkan arti pendidikan orang dewasa, dengan andragogi. Dalam rumusan Kapp, "Social-pedagogy" lebih merupakan proses pendidikan pemulihan (remedial) bagi orang dewasa yang cacat. Adapun andragogi, justru lebih merupakan proses pendidikan bagi seluruh orang dewasa, cacat atau tidak cacat secara berkelanjutan.
B. Andragogi dan Pedagogi
Malcolm Knowles menyatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang belajar selama ini adalah merupakan kesimpulan dari berbagai kajian terhadap perilaku kanak-kanak dan binatang percobaan tertentu. Pada umumnya memang, apa yang kita ketahui kemudian tentang mengajar juga merupakan hasil kesimpulan dari pengalaman mengajar terhadap anak-anak. Sebagian besar teori belajar-mengajar, didasarkan pada perumusan konsep pendidikan sebagai suatu proses pengalihan kebudayaan. Atas dasar teori-teori dan asumsi itulah kemudian tercetus istilah "pedagogi" yang akar-akarnya berasal dari bahasa Yunani, paid berarti kanak-kanak dan agogos berarti memimpin. Kemudian Pedagogi mengandung arti memimpin anak-anak atau perdefinisi diartikan secara khusus sebagai "suatu ilmu dan seni mengajar kanak-kanak". Akhirnya pedagogi kemudian didefinisikan secara umum sebagai "ilmu dan seni mengajar".
Untuk memahami perbedaan antara pengertian pedagogi dengan pengertian andragogi yang telah dikemukakan, harus dilihat terlebih dahulu empat perbedaan mendasar, yaitu :
1. Citra Diri
Citra diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Pada saat anak itu menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Perubahan dari citra ketergantungan kepada orang lain menjadi citra mandiri. Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak. Dalam masa dewasa ini, seseorang telah memiliki kemauan untuk mengarahkan diri sendiri untuk belajar. Dorongan hati untuk belajar terus berkembang dan seringkali justru berkembang sedemikian kuat untuk terus melanjutkan proses belajarnya tanpa batas. Implikasi dari keadaan tersebut adalah dalam hal hubungan antara guru dan murid. Pada proses andragogi, hubungan itu bersifat timbal balik dan saling membantu. Pada proses pedagogi, hubungan itu lebih ditentukan oleh guru dan bersifat mengarah.
2. Pengalaman
Orang dewasa dalam hidupnya mempunyai banyak pengalaman yang sangat beraneka. Pada anak-anak, pengalaman itu justru hal yang baru sama sekali.Anak-anak memang mengalami banyak hal, namun belum berlangsung sedemikian sering. Dalam pendekatan proses andragogi, pengalaman orang dewasa justru dianggap sebagai sumber belajar yang sangat kaya. Dalam pendekatan proses pedagogi, pengalaman itu justru dialihkan dari pihak guru ke pihak murid. Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan pedagogi, karena itu, dilaksanakan dengan cara-cara komunikasi satu arah, seperti ; ceramah, penguasaan kemampuan membaca dan sebagainya. Pada proses andragogi, cara-cara yang ditempuh lebih bersifat diskusi kelompok, simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam proses seperti itu, maka semua pengalaman peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber belajar.
3. Kesiapan Belajar
Perbedaan ketiga antara pedagogi dan andragogi adalah dalam hal pemilihan isi pelajaran. Dalam pendekatan pedagogi, gurulah yang memutuskan isi pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses pemilihannya, serta kapan waktu hal tersebut akan diajarkan. Dalam pendekatan andragogi, peserta didiklah yang memutuskan apa yang akan dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya sendiri. Guru sebagai fasilitator.
4. Nirwana Waktu dan Arah Belajar
Pendidikan seringkali dipandang sebagai upaya mempersiapkan anak didik untuk masa depan. Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan masalah ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu, andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu pengalaman kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada saat ini. Untuk menemukan "dimana kita sekarang" dan "kemana kita akan pergi", itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Maka belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti "memecahkan masalah hari ini", sedangkan pada pendekatan pedagogi, belajar itu justru merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan suatu waktu kelak.
C. Langkah-langkah Pelaksanaan Andragogi
Langkah-langkah kegiatan dan pengorganisasian program pendidikan yang menggunakan asas-asas pendekatan andragogi, selalu melibatkan tujuh proses sebagai berikut :
1. Menciptakan iklim untuk belajar
2. Menyusun suatu bentuk perencanaan kegiatan secara bersama dan saling membantu
3. Menilai atau mengidentifikasikan minat, kebutuhan dan nilai-nilai
4. Merumuskan tujuan belajar
5. Merancang kegiatan belajar
6. Melaksanakan kegiatan belajar
7. Mengevaluasi hasil belajar (menilai kembali pemenuhan minat, kebutuhan dan pencapaian nilai-nilai.

Andragogi dapat disimpulkan sebagai :
1. Cara untuk belajar secara langsung dari pengalaman
2. Suatu proses pendidikan kembali yang dapat mengurangi konflik-konflik sosial, melalui kegiatan-kegiatan antar pribadi dalam kelompok belajar itu
3. Suatu proses belajar yang diarahkan sendiri, dimana kira secara terus menerus dapat menilai kembali kebutuhan belajar yang timbul dari tuntutan situasi yang selalu berubah.


D. Prinsip-prinsip Belajar untuk Orang Dewasa
1. Orang dewasa belajar dengan baik apabila dia secara penuh ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan
2. Orang dewasa belajar dengan baik apabila menyangkut mana yang menarik bagi dia dan ada kaitan dengan kehidupannya sehari-hari.
3. Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila apa yang ia pelajari bermanfaat dan praktis
4. Dorongan semangat dan pengulangan yang terus menerus akan membantu seseorang belajar lebih baik
5. Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila ia mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuannya, kemampuannya dan keterampilannya dalam waktu yang cukup
6. Proses belajar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman lalu dan daya pikir dari warga belajar
7. Saling pengertian yang baik dan sesuai dengan ciri-ciri utama dari orang dewasa membantu pencapaian tujuan dalam belajar.

E. Karakteristik Warga Belajar Dewasa
1. Orang dewasa mempunyai pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda
2. Orang dewasa yang miskin mempunyai tendensi, merasa bahwa dia tidak dapat menentukan kehidupannya sendiri.
3. Orang dewasa lebih suka menerima saran-saran dari pada digurui
4. Orang dewasa lebih memberi perhatian pada hal-hal yang menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannya
5. Orang dewasa lebih suka dihargai dari pada diberi hukuman atau disalahkan
6. Orang dewasa yang pernah mengalami putus sekolah, mempunyai kecendrungan untuk menilai lebih rendah kemampuan belajarnya
7. Apa yang biasa dilakukan orang dewasa, menunjukkan tahap pemahamannya
8. Orang dewasa secara sengaja mengulang hal yang sama
9. Orang dewasa suka diperlakukan dengan kesungguhan iktikad yang baik, adil dan masuk akal
10. Orang dewasa sudah belajar sejak kecil tentang cara mengatur hidupnya. Oleh karena itu ia lebih suka melakukan sendiri sebanyak mungkin
11. Orang dewasa menyenangi hal-hal yang praktis
12. Orang dewasa membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat akrab dan menjalon hubungan dekat dengan teman baru.

F. Karakteristik Pengajar Orang Dewasa
Seorang pengajar orang dewasa haruslah memenuhi persyaratan berikut :
1. Menjadi anggota dari kelompok yang diajar
2. Mampu menciptakan iklim untuk belajar mengajar
3. Mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi, rasa pengabdian dan idealisme untuk kerjanya
4. Menirukan/mempelajari kemampuan orang lain
5. Menyadari kelemahannya, tingkat keterbukaannya, kekuatannya dan tahu bahwa di antara kekuatan yang dimiliki dapat menjadi kelemahan pada situasi tertentu.
6. Dapat melihat permasalahan dan menentukan pemecahannya
7. Peka dan mengerti perasaan orang lain, lewat pengamatan
8. Mengetahui bagaimana meyakinkan dan memperlakukan orang
9. Selalu optimis dan mempunyai iktikad baik terhadap orang
10. Menyadari bahwa "perannya bukan mengajar, tetapi menciptakan iklim untuk belajar"
11. Menyadari bahwa segala sesuatu mempunyai segi negatif fan pisitif.
Malcolm Knowles dalam publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species" mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan.

Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno "aner", dengan akar kata andr- yang berarti laki-laki, bukan anak laki-laki atau orang dewasa, dan agogos yang berarti membimbing atau membina. Disamping itu, ada istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogos" artinya membimbing atau memimpin. Maka dengan demikian secara harafiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak.

Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Pada awalnya, bahkan hingga sekarang, banyak praktek proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang dewasa.

Dengan demikian maka kalau ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harafiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training / Teaching)

Asumsi-AsumsiPokok
Malcolm Knowles dalam mengembangkan konsep andragogi, mengembangkan empat pokok asumsi sebagai berikut:
· KonsepDiri
Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak-anak masih tergantung sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian inilah orang dewasa membutuhkan memperoleh penghargaan orang lain sebagai manusia yang mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination), mampu mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya penentuan diri sendiri dalam suatu pelatihan, maka akan menimbulkan penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam agar secara umum menjadi mandiri, meskipun dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini menimbulkan implikasi dalam pelaksanaan praktek pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta proses perencanaan pelatihan.
·         PerananPengalaman
Asumsinya adalah bahwa sesuai dengan perjalanan waktu seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman pahit-getirnya kehidupan, dimana hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber belajar yang demikian kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh sebab itu, dalam teknologi pelatihan atau pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pelatihan konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada pengalaman. Dalam hal ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle" (Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman).
Hal in menimbulkan implikasi terhadap pemilihan dan penggunaan metoda dan teknik kepelatihan. Maka, dalam praktek pelatihan lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori, sekolah lapang, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya berupaya untuk melibatkan peranserta atau partisipasi peserta pelatihan.
·         KesiapanBelajar
Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar bukan ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Pada seorang anak belajar karena adanya tuntutan akademik atau biologiknya. Tetapi pada orang dewasa siap belajar sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi dalam peranannya sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi.
Hal ini membawa implikasi terhadap materi pembelajaran dalam suatu pelatihan tertentu. Dalam hal ini tentunya materi pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan peranan sosialnya.
·                     OrientasiBelajar
Asumsinya yaitu bahwa pada anak orientasi belajarnya seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk memiliki orientasi yang berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan permasalahan yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa.
Selain itu, perbedaan asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan perspektif waktu. Bagi orang dewasa, belajar lebih bersifat untuk dapat dipergunakan atau dimanfaatkan dalam waktu segera. Sedangkan anak, penerapan apa yang dipelajari masih menunggu waktu hingga dia lulus dan sebagainya. Sehingga ada kecenderungan pada anak, bahwa belajar hanya sekedar untuk dapat lulus ujian dan memperoleh sekolah yang lebih tinggi.
Hal ini menimbulkan implikasi terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa, yaitu bahwa materi tersebut hendaknya bersifat praktis dan dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.

BeberapaImplikasiUntukPraktek
Dari uraian tersebut di atas telah diperoleh dan disimpulkan beberapa perbedaan teoritis dan asumsi yang mendasari andragogi dan pedagogi (konvensional) yang menimbulkan berbagai implikasi dalam praktek.
Dalam pedagogi atau konvensional, karena berpusat pada materi pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation) maka implikasi yang timbul pada umumnya peranan guru, pengajar, pembuat kurikulum, evaluator sangat dominan. Pihak murid atau peserta pelatihan lebih banyak bersifat pasif dan menerima. Paulo Freire, menyebutnya sebagai "Sistem Bank" (Banking System). Hal ini dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
·         Penentuan mengenai materi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu disampaikan yang bersifat standard dan kaku.
·         Penentuan dan pemilihan prosedur dan mekanisme serta alat yang perlu (metoda & teknik) yang paling efisien untuk menyampaikan materi pembelajaran.
·         Pengembangan rencana dan bentuk urutan (sequence) yang standard dan kaku
·         Adanya standard evaluasi yang baku untuk menilai tingkat pencapaian hasil belajar dan bersifat kuantitatif yang bersifat untuk mengukur tingkat pengetahuan.
·         Adanya batasan waktu yang demikian ketat dalam "menyelesaikan" suatu proses pembelajaran materi pengetahuan dan ketrampilan.
Dalam andragogi, peranan guru, pengajar atau pembimbing yang sering disebut dengan fasilitator adalah mempersiapkan perangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh warga belajar, yang kemudian dikenal dengan pendekatan partisipatif, dalam proses belajar yang melibatkan elemen-elemen:
·         Menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri.
·         Menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif
·         Diagnosis kebutuhan-kebutuhan belajar yang spesifik
·         Merumuskan tujuan-tujuan program yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan belajar
·         Merencanakan pola pengalaman belajar
·         Melakukan dan menggunakan pengalaman belajar ini dengan metoda dan teknik yang memadai
·         Mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar. Ini adalah model proses.
Oleh karena itu dalam memproses interaksi belajar dalam pelatihan orang dewasa kegiatan dan peranan fasilitator bukanlah memindahkan pengetahuan dan ketrampilan kepada peserta pelatihan. Peranan dan fungsi fasilitator adalah mendorong dan melibatkan seluruh peserta dalam proses interaksi belajar mandiri, yaitu proses belajar untuk memahami permasalahan nyata yang dihadapinya, memahami kebutuhan belajarnya sendiri, dapat merumuskan tujuan belajar, dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajarnya sesuai dengan perkembangan yang terjadi dari waktu ke waktu.
Dengan begitu maka tugas dan peranan fasilitator bukanlah memaksakan program atau kurikulum dari atas, dari instansi, dari dinas, yang mereka buat di atas meja terlepas dari kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi.


Masalah seputar pendidikan kita.

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami "sakit". Dunia pendidikan yang "sakit" ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sisten pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan "manusia robot". Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai "pendidikan yang menciptakan manusia -- siap pakai". Dan "siap pakai" di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru. Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Masalah yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam "strategi kebudayaan Asia", sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Pendidikan kita adalah pendidikan yang tidak berorientasi untuk mendidik emosi dan spiritual, tetapi merupakan pendidikan yang hanya terfokuskan pada kecerdasan akal dan logika saja (intelektual). Kurikulum, pengajaran dan kehendak masyarakat menunjukkan mereka sudah puas dan menganggap telah tercapai target bila seorang anak didik berprestasi dengan nilai-nilai yang excellent.
Lembaga pendidikan yang menjamur, jumlah anak didik yang tidak terhitung, lulusan yang membludak semakin mewarnai lembaran pendidikan, ini perlu dipertanyakan lagi. Beragamnya lembaga pendidikan mengakibatkan tidak terkontrol kurikulum dan mutu pendidik, terpecahnya pendidikan dari swasta dan negeri, pendidikan agama negeri dan swasta, pendidikan umum, dayah, balai pengajian, diniyah menunjukkan semakin rumitnya gambaran pendidikan kita, pendidikan yang tumbuh bagaikan semak-belukar, tanpa aturan, standar mutu dan syarat-syarat keilmuan. Akibatnya adalah pendidikan kita akan memproduk manusia-manusia yang premature, busung-lapar dan kerdil dari standar pendidikan di negara lain.
Dilain pihak, pendidikan kita adalah pendidikan supermarket, lihat saja bagaimana kebijakan suatu universitas, yang menentukan standar universitas adalah pada berapa bayaran dari mahasiswa, istilahnya adalah "semakin banyak penawaran maka semakin mahal harga suatu barang" demikian juga dengan mata kuliah, jurusan dan fakultas, jika banyak yang mendaftar ke suatu universitas maka bayaran pun semakin mahal, sebaliknya semakin sedikit peminat suatu lembaga pendidikan maka semakin murah bayarannya, bandingkan saja berapa bayaran Fakultas Kedokteran dengan Fakultas Dakwah, atau bagaimana perbedaan pembayaran STAI dengan Universitas misalnya. Dari hal ini maka tepat sekali dikatakan bahwa mutu pendidikan kita adalah ditentukan oleh uang, sesuai dengan masyarakatnya yang berkharakter materialisme. Maka tak dapat dihindari bahwa menjadi orang terdidik adalah milik orang-orang yang beruang, tetapi orang miskin harus tetap statusnya si-miskin, papa, bodoh, sengsara, tertindas dan sebagainya.







The Question :
1. Apa beda definisi pendidikan dan pengajaran, tolong sebutkan semua definisinya dari semua sumber yang diketahui nara sumber?
"pendidikan n proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, pembuatan mendidik;"
(Ref. Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, P 263)
Definisi di kamus ini dilengkapi dengan semua macam pendidikan mislanya ~ akademik, ~ kesehatan, dll.
Tetapi, menurut saya yang penting dan kurang di definisi di atas adalah:
  • Meningkatkan pengetahuan, pengertian, kesadaran, dan toleransi
  • Meningkatkan "questioning skills" dan kemampuan menganalisakan sesuatu - termasuk pendidikannya!
  • Meningkatkan kedewasaan individu - dari definisi di atas kami harus sangat kuatir kalau tujuannya hanya "pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok" - kita perlu tahu; (a) merubah sesuai dengan keinginan siapa, (b) menguntungkan siapa, (c) apakah kita menjadi robot atau manusia kalau "sikap dan tata laku" sama?
  • Untuk perkembangan negara (negara yang mana saja) kami sangat perlu pendidikan yang menghargai kreativitas dan "individual thinking" supaya negara dapat membuat sesuatu yang baru dan lebih baik (tidak hanya meng-copy negara lain).
"pengajaran n 1 proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan; 2 perihal mengajar; segala sesuatu mengenai mengajar; 3 peringatan"
(Ref. Departemen Pendidikan Nasional, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, P 17)
Dari definisi "pendidikan" di atas Anda dapat melihat hubungan dan bedanya pendidikan dan pengajaran (di-underline).
2. Bagaimana sistem pengajaran andragogik yang benar pada perguruan tinggi?
1. Setelah membahas hal pedagogi / andragogi beberapa tahun di Universitas Griffith waktu saya kuliah (jurusan Pendidikan Dewasa, Kejuruan, dan SDM) keputusan saya adalah bahwa kalau kita anggap semua pelajar kita (SD sampai PT) sebagai dewasa (matang) proses belajar/mengajar akan lebih lancar dan pelajarannya akan lebih menarik. Jadi, Apa bedanya? Memang saran ini perlu dijelaskan tetapi ini bukan forumnya.
2. Juga (menurut saya), tidak ada "satu" sistem pengajaran yang "terbaik". Kami tidak dapat melepas kewajiban kita untuk menggunakan segala sistem (dan metodologi) supaya pelajar kita dapat belajar secara efisien. Tetapi, di perguruan tinggi kita wajib untuk mengajar pelajar kita "cara belajar secara mandiri" supaya mereka akan siap untuk "Life-long Learning" dan kemandirian (ref. poin-poin di atas "pendidikan"). Mohon perhatian - cara belajar pendidikan "non-formal" adalah hal yang sangat penting (apa lagi di Indonesia).











- Damanhuri Khazin, 4 pilar proses pendidikan
- SUPRIADI, ANDRAGOGI (SEBUAH KONSEP TEORITIK)
- kamus besar bahasa indonesia
- phillip rekdale, pendidikan networking
-FAIzal djabbar, pendidikan antikorupsi dan  multikulturalisme
- determinasi ekonomi pendidik dan peserta didik
- yuli kwartolo, memahami proses pendidikan secara benar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar