Mengingat
dampaknya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan janin, sebisa mungkin hindari
trauma.
Beban fisik dan mental biasa
dialami oleh ibu hamil karena perubahan fisik dan hormonalnya, seperti bentuk
tubuh yang melebar dan kondisi emosi yang naik turun. Beban ini sering
diperparah dengan munculnya trauma-trauma kehamilan, sehingga masalah yang
dihadapi ibu pun makin kompleks.
Trauma masa hamil, bisa datang
dari banyak faktor. Hal sepele seperti menyaksikan film horor bisa saja
mendatangkan trauma padahal sebelumnya tidak masalah bila ibu menyaksikan film
jenis apa pun: horor, laga, atau thriller. Namun di saat hamil, adegan yang
menyeramkan, mengerikan, atau menyedihkan bisa sangat membekas dan berujung
menjadi trauma. Ibu jadi takut pergi ke kamar mandi sendirian, takut menyetir
mobil, khawatir bakal terjadi sesuatu yang mengancam jiwanya, cemas kalau
sendirian di malam hari, dan sebagainya. Ketakutan ini menjadi sangat
berlebihan, sehingga sangat mengganggu kondisi psikologisnya.
JAGA PSIKIS IBU
Menurut Dra. Shinto B. Adelaar
MSc. dari RS Internasional Bintaro, Tangerang, Banten, bila beban trauma ini
terus berlanjut, dampaknya akan berbekas pada janin. Terlebih jika ibu sampai
mengalami stres. “Untuk itu, ibu hamil tidak boleh memperhatikan kesehatan
fisik saja, melainkan juga kesehatan psikologisnya. Salah satunya dengan
menghindari trauma masa hamil yang dapat berujung pada stres, yakni timbunan
permasalahan yang tidak bisa diatasi dengan baik.”
Tidak semua ibu menyadari bahwa
aspek fisik dan psikis adalah dua hal yang terkait erat, saling
pengaruh-mempengaruhi, atau hampir tidak terpisahkan. Jika kondisi fisiknya
kurang baik, maka proses berpikir, suasana hati, kendali emosi dan tindakan
yang bersangkutan dalam kehidupan sehari-hari akan terkena imbas negatifnya.
Antara lain, suasana hati atau keadaan emosi cepat berubah, kepekaan meningkat,
dan perubahan pola atau pilihan makanan yang juga akan berpengaruh pada konsep
diri sang ibu.
Kondisi psikologis yang dialami
ibu selama hamil, kemudian akan kembali mempengaruhi aktivitas fisiologis dalam
dirinya. Suasana hati yang kelam dan emosi yang meledak-ledak dapat
mempengaruhi detak jantung, tekanan darah, produksi adrenalin, aktivitas
kelenjar keringat, sekresi asam lambung, dan lain-lain. Trauma, stres, atau
tekanan psikologis juga dapat memunculkan gejala fisik seperti letih, lesu,
mudah marah, gelisah, pening, mual atau merasa malas.
Karena
perubahan yang terjadi pada fisik mempengaruhi aspek psikologis dan sebaliknya,
maka mudah bagi ibu hamil untuk mengalami trauma. Menurut Shinto, trauma ini
ternyata dapat dirasakan juga oleh janin. Bahkan, janin sudah menunjukkan
reaksi terhadap stimulasi yang berasal dari luar tubuh ibunya. Sementara dalam
masa perkembangan janin, ada masa-masa yang dianggap kritis yang menyangkut
pembentukan organ tubuh. Oleh karena itu, mau tidak mau ibu hamil harus menjaga
kondisi fisik maupun psikisnya agar bayinya dapat tumbuh sehat.
RENTAN DI TRIMESTER
PERTAMA
Biasanya, masa paling berat bagi
beban psikis ibu hamil terjadi di trimester pertama, yakni ketika perubahan
aktivitas hormonal ibu sedang besar-besarnya. Perubahan inilah yang dapat
dengan mudah mempengaruhi stabilitas emosi ibu, selain menyebabkan keluhan
mual-muntah, terutama di pagi hari (morning sickness) selama dua bulan pertama.
Akibatnya, beban psikologis pun semakin bertambah. Makanya, wajar bila di usia
kehamilan ini banyak ibu rentan terhadap trauma.
Bukan cuma itu. Ibu hamil pun
sering mengalami kecemasan berkaitan dengan penampilan fisiknya. Bagi istri
yang hubungannya dengan suami relatif rapuh atau memiliki konsep diri rendah,
kehamilan kerap dipersepsikan sebagai keadaan yang mengancam. Cukup banyak ibu
yang merasa khawatir bahwa kehamilan akan menurunkan daya tariknya dan membuat
pasangan melirik pada perempuan lain. Hal inilah yang terkadang menambah beban
trauma.
Apalagi semakin tua usia
kehamilan, bentuk tubuh perempuan semakin jauh dari patokan ideal. Bagi yang
mendewakan keremajaan, kehamilan mereka dapat menjadi sumber kecemasan terhadap
berbagai perubahan atau “kerusakan” bagian tubuh sejalan dengan perkembangan
kehamilan. Berbagai upaya pun dilakukan untuk memperkecil risiko agar tubuh
dapat segera kembali ke kondisi sebelum hamil. “Hal ini menjadikan kehamilan
tidak selamanya disambut dengan rasa bahagia, cukup banyak juga yang kurang
percaya diri, sehingga dengan berbagai alasan dan cara berusaha
menyembunyikannya,” sesal Shinto.
Pengaruh trauma terhadap
perkembangan janin, menurutnya, sangat terasa jika kejadiannya berlangsung di
trimester pertama. Pada masa ini pertumbuhan awal baru dimulai, sehingga janin
sangat rentan terhadap pengaruh dari luar, didukung susunan syaraf pusat dan
jantung yang sudah bertumbuh. Dari luar, pada janin juga sudah tampak mata, hidung,
mulut yang mini, dan tunas bakal tangan serta kaki. Kemudian, di akhir
trimester pertama, janin mulai bergerak, bernapas dan mencerna makanan. Itulah
mengapa fase ini rentan terhadap gangguan, apalagi yang bersifat traumatis.
Sebenarnya, beban trauma
terhadap janin bisa ditepis jika ibu cepat menenangkan diri. Justru yang lebih
dikhawatirkan adalah bila trauma tersebut membuat ibu tidak memperhatikan
kehamilannya, jatuh sakit, minum obat-obatan sembarangan, apalagi mengonsumsi
zat berbahaya yang akan berdampak fatal pada janin.
Apabila ibu sudah sampai
mengonsumsi zat berbahaya, terkadang kehamilan tidak bisa dipertahankan.
Bilapun dipertahankan, janin akan terpapar pada risiko tinggi berupa kelainan
pada susunan saraf pusat, jantung, panca indra dan anggota tubuh.
Menurut Shinto, janin yang
dikandung oleh para ibu yang mengalami stres berat dan tidak memperhatikan
kehamilannya banyak yang mengalami kelainan perkembangan pada kedua belahan
otaknya. Misalnya, otak kiri tidak dapat memproses informasi lebih cepat
daripada belahan otak bagian kanan, sehingga mengakibatkan hambatan dalam
perkembangan kemampuan berbahasa anak di kemudian hari. Penelitian lain
menunjukkan, ibu hamil yang mengalami trauma dan stres berkepanjangan karena
masalah rumah tangga cenderung melahirkan anak hiperaktif. “Dampak yang terjadi
pada anak-anak memang tidak mudah diramalkan sebelumnya. Oleh karena itu, cara
yang terbaik adalah melakukan pemeliharaan diri secara fisik dan psikologis
selama masa kehamilan,” tandas Shinto.
Usai trimester pertama, biasanya
beban kehamilan sudah bisa diantisipasi lebih baik. Selain perubahan hormonal
lebih stabil, ibu pun sudah mulai terbiasa dengan kondisi tubuhnya. Sementara,
janin pun sudah lebih kuat dari sebelumnya. Namun demikian, ibu tetap perlu
berhati-hati mengingat di akhir trimester kedua janin mulai mampu mendengar dan
dapat bereaksi terhadap sentuhan dari luar. Dia pun sudah bisa merasakan
kondisi psikologis orang tuanya. Kondisi ibu yang selalu menyenangkan bisa
membuat pertumbuhan janin optimal. Sedangkan bila tidak, mungkin saja ada
gangguan-gangguan yang nantinya bisa berpengaruh pada kondisi psikologis anak
setelah lahir.
SEIMBANGKAN KONDISI
PSIKOLOGIS
Kondisi psikologis yang baik
atau seimbang tentu tidak datang dengan sendirinya. Berikut beberapa kiat
menyeimbangkan kondisi psikologis yang diberikan Shinto:
1. Carilah informasi seputar
kehamilan, perubahan yang terjadi dalam diri ibu, dan hal-hal yang perlu
dihindari agar janin tumbuh sehat. Pengetahuan atau informasi yang tepat akan
membuat ibu merasa lebih yakin sekaligus bisa mengurangi rasa cemas yang sering
muncul karena ketidaktahuan mengenai apa yang terjadi.
2. Bicarakanlah perubahan selama
kehamilan dengan suami, sehingga ia juga tahu serta diharapkan bisa berempati
dan mampu memberi dukungan psikologis yang dibutuhkan. Galilah perasaan yang
dialami pasangan sehubungan dengan kehamilan ini. Carilah titik temu guna
mengantisipasi perubahan yang bisa memunculkan masalah.
3. Periksakan kehamilan secara
teratur. Cari informasi dari dokter atau bidan terpercaya mengenai kehamilan.
Jangan lupa, ajaklah suami saat berkonsultasi ke dokter/bidan.
4. Pahami benar pengetahuan
mengenai asupan makanan yang sehat bagi perkembangan janin. Hindarilah
mengonsumsi bahan yang dapat membahayakan janin, seperti makanan yang
mengandung zat-zat aditif, alkohol, rokok, atau obat-obatan yang tidak
dianjurkan bagi ibu hamil. Jauhkan juga zat berbahaya seperti gas buang
kendaraan yang mengandung timah hitam yang berbahaya bagi perkembangan
kecerdasan.
5. Perhatikanlah penampilan
fisik dengan menjaga kebersihan, melakukan latihan fisik ringan, semisal
berenang dan jalan kaki, selain memperhatikan cara berpakaian yang sesuai.
6. Lakukanlah penyesuaian
kegiatan dengan kondisi fisik dan kehamilan. Mendekati saat persalinan, perlu
ada pembicaraan dengan suami untuk mengantisipasi berbagai perubahan yang akan
terjadi setelah kelahiran sang bayi.
7. Upayakan berbagai cara agar
terhindar dari stres. Atasilah kecemasan maupun emosi negatif lainnya, dengan
mendengarkan musik lembut, belajar memusatkan perhatian, berzikir, yoga, dan
bentuk relaksasi lainnya.
8. Bergabunglah dengan kelompok
senam hamil sejak usia kandungan menginjak sekitar 5-6 bulan. Sebaiknya,
konsultasikan dulu dengan dokter kandungan. Senam hamil tidak hanya bermanfaat
melatih otot-otot yang diperlukan dalam proses persalinan, melainkan juga
memberi manfaat psikologis. Pertemuan sesama calon ibu biasanya diisi dengan
acara berbagi pengalaman yang dapat dijadikan pelajaran positif. Melalui
kegiatan itu pula, secara perlahan kesiapan psikologis calon ibu dalam
menghadapi persalinan menjadi semakin mantap.
9.
Lakukanlah latihan relaksasi dan latihan pernapasan secara teratur. Latihan ini
bermanfaat untuk ketenangan dan kenyamanan sehingga kondisi psikologis bisa
lebih stabil.
BERSIAP MENGHADAPI
PERUBAHAN
Direncanakan atau tidak, calon
ibu perlu mempersiapkan diri secara psikologis sejak sebelum, selama, dan
sesudah kehamilan. Calon ayah dan ibu perlu bersiap-siap menyesuaikan diri
terhadap perubahan peran, tanggung jawab, pembagian waktu, maupun perhatian
yang berkaitan dengan kehadiran sang bayi 9 bulan mendatang.
“Di awal masa kehamilan, baik
calon ibu maupun ayah, harus memiliki pengetahuan mengenai perubahan yang
terjadi di dalam diri ibu, hingga lebih percaya diri dan tidak mudah mengalami
kecemasan menghadapi gejala-gejala umum kehamilan,” tutur Shinto.
Calon ayah perlu tahu bahwa ada
kemungkinan sang isteri akan menunjukkan tingkah laku yang “luar biasa” selama
masa kehamilan. Dengan demikian calon ayah pun harus belajar memahami dan
meningkatkan toleransi terhadap “ketidaklaziman” tingkah laku istrinya. Dengan
kata lain, calon ayah juga mesti bersedia menyesuaikan diri terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi pada sang istri, baik fisik maupun psikologis.
Sumber : Nakita-Irfan Hasuki.
Trauma kehamilan dapat
disebabkan oleh trauma mekanis, diantaranya akibat benda tumpul (mis :
kecelakaan) , terjatuh, terbakar, luka inhalasi, kekerasan dalam rumah tangga,
tikaman, senjata api, dan sebagainya. Kejadian ini dapat menyebabkan perdarahan
pada ibu hamil dan dapat membahayakan kondisi ibu maupun janin yang
dikandungnya. Akibat lebih lanjut, keadaan tersebut dapat menimbulkan syok,
bahkan kematian pada ibu dan janin.
Penanganan umum perdarahan pada kehamilan :
Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum pasien, termasuk tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, dan suhu).
Periksa tanda-tanda syok (pucat, berkerringat banyak, pingsan, tekanan sistolik kurang 90 mmHg, nadi lebih 112 kali per menit).
Jika dicurigai terjadi syok, segera mullai penanganan syok. Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi wanita karena kondisinya dapat memburuk denganc epat. Jika terjadi syok, sangat penting untuk memulai penanganan syok dengan segera.
Jika pasien dalam keadaan syok, pikirkaan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu.
Pasang infus dengan jarum infus besar ((16 G atau lebih), berikan larutan garam fisiologik atau ringer laktat dengan tetesan cepat (500 cc dalam 2 jam pertama).
Penanganan umum perdarahan pada kehamilan :
Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum pasien, termasuk tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, dan suhu).
Periksa tanda-tanda syok (pucat, berkerringat banyak, pingsan, tekanan sistolik kurang 90 mmHg, nadi lebih 112 kali per menit).
Jika dicurigai terjadi syok, segera mullai penanganan syok. Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi wanita karena kondisinya dapat memburuk denganc epat. Jika terjadi syok, sangat penting untuk memulai penanganan syok dengan segera.
Jika pasien dalam keadaan syok, pikirkaan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu.
Pasang infus dengan jarum infus besar ((16 G atau lebih), berikan larutan garam fisiologik atau ringer laktat dengan tetesan cepat (500 cc dalam 2 jam pertama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar